Kamis, 30 Juni 2011

Tanya Jawab Seputar Fidyah

Cara Membayar Fidyah, dan apa boleh diganti uang?
Pertanyaan :
Assalamu’alaykum
Ana mau tanya beberapa pertanyaan seputar puasa ramadhan:
- Apakah membayar fidyah (orang tua yang sudah renta) harus dibayarnya setiap hari selama bulan ramadhan? kapan waktunya?
- Apakah boleh membayar fidyah di akhir bulan ramadhan/sesudah bulan ramadhan dengan sekaligus?
- Dan bolehkah membayar fidyah dalam bentuk uang? mohon dijelaskan dengan dalilnya ya!
Jazakumullahu khairan
Yasser Afif < …. @yahoo.co.id>
Jawaban :
(Dijawab oleh : Abu ‘Amr Ahmad)
a. Membayar fidyah ada dua cara :
Cara Pertama, dibayar secara satu per satu atau bertahap/dicicil. Dengan syarat dia harus sudah melalui / melewati hari yang ia tidak berpuasa padanya. Gambarannya :
- Dia memberi makan kepada satu orang miskin untuk tiap hari yang ia tinggalkan. Misalnya : Dia tidak berpuasa pada hari ke-3, maka pada maghrib hari ketiga tersebut dia memberi makan satu orang miskin. Berikutnya hari ke-4 dia juga tidak berpuasa, maka pada maghrib hari ke-4 tersebut dia memberi makan satu orang miskin. … dst.
- Atau bisa juga dikumpulkan beberapa hari yang ia tinggalkan. Misalnya dia tidak berpuasa hari ke-10 sampai ke-29. Pada hari ke-15 dia bayar fidyah untuk hari ke-10 sampai ke-15. Kemudian pada hari ke-25 dia bayar fidyah untuk hari ke-16 hingga hari ke-25. Lalu pada hari ke-29 ia bayar fidyah untuk hari ke-26 hingga ke-29.
Cara Kedua, dibayar sekaligus. Yaitu setelah ia melalui semua hari yang ia tidak berpuasa padanya, maka ia mengundang orang miskin sesuai jumlah hari yang ia tinggalkan. Misalnya seseorang tidak berpuasa sebulan penuh. Maka dia memberi makan 30 orang miskin.
Shahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu ketika beliau sudah lanjut usia dan tidak mampu lagi berpuasa, maka beliau memberi makan 30 orang miskin. (diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya no. 4194. Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa shahabat Anas bin Malik radhiyallah ‘anhu juga pernah membayar fidyah untuk tiap hari yang beliau tinggalkan. (lihat Fathul Bari VII/180).
* Membayar Fidyah boleh dilakukan ketika masih dalam bulan Ramadhan, boleh juga dilakukan di luar Ramadhan. Ketika di luar Ramadhan, boleh dicicil boleh juga sekaligus.
* * *
b. Adapun membayar fidyah dalam bentuk uang, maka hukumnya tidak boleh. Karena dalam nash dalil disebutkan dengan lafazh “memberi makan”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah : 184)
Seorang ‘ulama ahli fiqh international, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, ketika ditanya dengan pertanyaan serupa beliau menjawab sebagai berikut :
“Wajib atas kita untuk mengetahui salah satu kaidah penting, yaitu bahwa apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan. …. Jadi jika disebutkan dalam dalil dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka tidak bisa diwakili/diganti dengan dirham (uang). Oleh karena itu orang yang sudah lanjut usia yang berkewajiban memberi makan sebagai ganti dari puasa (yang ia tinggalkan), maka tidak bisa diganti dalam bentuk uang. Walaupun dia membayar dalam bentuk uang senilai dengan harga makanan sebanyak sepuluh kali, maka itu tidak bisa menggugurkan kewajibannya. Karena itu merupakan perbuatan melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh dalil.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVII/84).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan :
1. Fidyah untuk orang yang tidak mampu berpuasa boleh dibayarkan setiap hari selama bulan Ramadhan. Waktunya adalah ketika berbuka pada hari yang bersangkutan.
2. Fidyah boleh juga dibayarkan dicicil beberapa hari sekaligus.
3. fidyah boleh juga dibayarkan sekaligus selama satu bulan.
4. Syarat terpenting untuk bisa membayar fidyah adalah sudah terlalui/terlewatinya hari yang ia tidak berpuasa padanya.
5. Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah membayar fidyah dengan satu per satu, pernah juga sekaligus.
6. Bahwa membayar fidyah harus dalam bentuk makanan. Tidak boleh digantikan dalam bentuk uang.
7. Kaidah penting : apa yang Allah sebutkan dengan lafazh “Al-Ith’am” atau “Ath-Tha’am” (memberikan makan) maka harus benar-benar ditunaikan dalam bentuk makanan.
 (Sumber http://www.assalafy.org)

Antara Puasa Syawal Dengan Hutang Puasa Ramadhan

Tanya:”Assalamu’alaykum Wr Wb, mas..”
Jawab:”Wa’alaykumsalam Wr Wb. Ada yg bisa saya bantu?”
T:”Kita ketemu lagi ya? Begini…saya mau tanya tentang puasa Syawal
J:”Iya…kita ketemu lagi di bulan Syawal. Silakan bertanya, semoga saya bisa membantu?”
T:”Puasa Syawal itu berapa hari ya? Saya agak lupa, 6 hari atau 7 hari?”
J:”Berdasarkan contoh dari Rasululloh SAW, puasa Syawal dilakukan selama 6 hari.”
T:”Kok 6 hari? Kenapa bukan 7 hari? Kan biar pas dari Senin sampai Minggu.”
J:”Jadi begini. Puasa Syawal melengkapi puasa Ramadhan yg baru kita lakukan. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa barangsiapa puasa Ramadhan lalu diikuti puasa Syawal selama 6 hari, ibaratnya dia sudah berpuasa selama setahun penuh.”
T:”Waaahhh…hebat sekaliiii…tapi saya kok jadi bingung. Kok bisa dihitung selama setahun ya?”
J:”Perhitungannya begini. Amal ibadah dihitung 10x, sehingga 1 bulan puasa Ramadhan = 10 bulan puasa. Lalu 6 hari puasa Syawal = 60 hari puasa = 2 bulan puasa. Total 10 + 2 bulan = 12 bulan berpuasa.”
T:”Ooo…begitu yaa..? Ada hadits atau dalilnya ga mas? Saya bukannya tidak yakin, tapi biar lebih sreg.”
J:”Ini dalilnya. “Barangsiapa berpuasa Ramadhan (penuh) lalu diikuti dengan berpuasa enam hari dalam bulan Syawal maka dia seperti berpuasa setahun penuh. (HR. Muslim)”
T:”Lalu, mas…bagaimana sih pelaksanaan puasa Syawal itu?”
J:”Sama seperti puasa2 pada umumnya. KIta berpuasa selama 6 hari di bulan Syawal.”
T:”Apakah mesti berturut-turut? Maksud saya, langsung puasa dari Senin - Sabtu?”
J:”Tidak perlu dilakukan berturut-turut. Yang penting dilakukan di bulan Syawal.”
T:”Istri saya ingin berpuasa Syawal, tapi dia masih punya hutang puasa Ramadhan. Bagaimana dong? Mana yang mesti didahulukan?”
J:”Saya sendiri punya pendapat silakan lakukan puasa yg bisa istri anda lakukan. Jika ingin puasa Syawal dulu, silakan. Jika ingin melunasi hutang puasa Ramadhan dulu, boleh juga…malah lebih baik.”
T:”Ya…saya mengerti. Lebih baik melunasi hutang Ramadhan dulu baru Syawalan ya? Karena puasa Ramadhan itu WAJIB sedang puasa Syawal itu SUNNAH. Bukan begitu mas?”
J:”Ah, anda tepat sekali. Memang itu maksud saya. Hanya saja, kita tidak bisa ’saklek’ begitu.”
T:”Saklek bagaimana? Saya kok tidak mengerti…”
J:”Jadi begini. Puasa Syawal, sesuai penjelasan di atas, MESTI dilakukan di bulan Syawal. Waktunya pendek. Sementara kaum perempuan dalam sebulan itu akan mendapatkan haid/mens selama 7-10 hari. Dengan demikian makin pendek waktu yg dimiliki kaum perempuan.”
T:”Lalu? Lalu?”
J:”Dari penjelasan dan logika itu, saya sendiri TIDAK MELARANG istri saya untuk Syawalan dahulu baru kemudian melunasi hutangnya di bulan-bulan berikutnya.”
T:”Jadi, bagaimana kesimpulannya mas?”
J:”Kesimpulannya:
1. Puasa Syawal, selama 6 hari, dilakukan HANYA DI BULAN SYAWAL
2. Boleh tidak dilakukan berturut-turut
3. Bagi kaum perempuan, sebaiknya lebih baik lunasi dulu hutang puasa Ramadhan baru Syawalan. Tapi menurut saya, sah-sah saja jika hendak Syawalan terlebih dahulu, baru melunasi hutang Ramadhan. Penyebabnya karena waktu Syawal hanya sebentar (hanya 1 bulan).”
T:”Tapi mas…saya kok lebih sreg lunasi hutang Ramadhan baru Syawalan. Ibaratnya, kok ngejar yg sunnah dulu sementara yg wajib malah ditunda? Saya malah punya pikiran, eh, analogi begini. Bagaimana kita sholat sunnah bada’ Isya (yg sunnah) sementara kita belum sholat Isya (yg wajib)?”
J:”Betul sekali. Itu sebabnya, silakan pilih dan tetapkan keyakinan anda. Jika anda, eh, istri anda yakin bahwa dia hendak melunasi Ramadhan dulu baru Syawalan ya monggo. Mau Syawalan dulu, seperti istri saya, juga monggo. Intinya: JANGAN MEMPERSULIT diri sendiri..”
T:”Ok mas…terima kasih…”
J:”Sama-sama…”
T:”Wassalamu’alaykum wr wb…”
J:”Wa’alaykumsalam wr wb. Oya, Taqabalallahu minna wa minkum. Shiyaamana wa shiyaamakum. Minal ‘aidin wal faizin. Maaf lahir dan batin ya mas?”
T:”Oya ya…sama-sama mas…aamiin…”
(Sumber: Tausyiah 275)

Shalat Iftitah Sebelum Tarawih

Pertanyaan: Assalamu`alaikum. Adakah shalat iftitah sebelum shalat tarawih? Kalo ada bagaimana caranya? Sementara sebagaian warga Muhammadiyah melakukannya tapi cuma baca al-Fatihah saja. Apa itu betul?
Jawab: "kalau yang dimaksud shalat sunnah dua rakaat tersebut adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’ maka itu benar, dan termasuk shalat sunnah muakkadah. Lebih utama bagi setiap muslim untuk menjaga dan melaksanakannya sebelum memulai shalat tarawih.
 bersabda: bahwa Nabi, Dari Ummu Habibah
"Barangsiapa shalat dalam sehari semalam 12 rakaat maka akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di sorga; empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya’, dan dua rakaat sebelum sunnah 
fajar." (HR. Turmudzi (2/192))
Boleh melakukannya dengan mencukupkan membaca al-Fatihah saja dalam kedua rakaat, akan tetapi tidak boleh menjadi sebuah kebiasaan karena tidak ada dalil dalam masalah tersebut. Adapun jika dua rakaat tersebut bukanlah dua rakaat shalat sunnah isya’ maka tidak diragukan lagi itu adalah bid’ah yang tidak bersandar di atas dalil dari Kitab maupun Sunnah Nabi yang shahih dan tidak mengikut pemahaman salafusshalih. Wallahu a’lam. (AR) "
(Sumber: Qiblati).

Selasa, 28 Juni 2011

Fatwa Ulama Islam Tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Ied

Redaksi Buletin Al Atsariyah 

Sudah menjadi polemik berkepanjangan di negeri kita, adanya khilaf sepanjang tahun tentang penentuan hilal (awal) bulan Romadhon. Karenanya, kita akan menyaksikan keanehan ketika kaum muslimin terkotak, dan terpecah dalam urusan ibadah mereka. Ada yang berpuasa –misalnya- tanggal 12 September karena mengikuti negeri lain; ada yang puasa tanggal 13 karena mengikuti pemerintah; ada yang berpuasa tanggal 14, karena mengikuti negeri yang lain lagi, sehingga terkadang muncul beberapa versi. Semua ini timbul karena jahilnya kaum muslimin tentang agamanya, dan kurangnya mereka bertanya kepada ahli ilmu.
Nah, manakah versi yang benar, dan sikap yang lurus bagi seorang muslim dalam menghadapi khilaf seperti ini? Menjawab masalah ini, tak ada salahnya –dan memang seyogyanya- kita kembali kepada petunjuk ulama’ kita, karena merekalah yang lebih paham agama.
Pada kesempatan ini, kami akan mengangkat fatwa para ulama’ Islam yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’, yang beranggotakan: Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ketua), Abdur Razzaq Afifiy (Wakil Ketua), Abdullah bin Ghudayyan (staf), Abdullah bin Mani’ (Staf), dan Abdullah bin Qu’ud (Staf). Fatwa berikut ini kami nukilkan dari kitab yang berjudul "Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah", (hal. 94-), kecuali fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy.

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 10973)

Soal: " Ada sekelompok orang yang multazim, dan berjenggot di negeri kami; mereka menyelisihi kami dalam sebagian perkara, contohnya puasa Romadhon. Mereka tak puasa, kecuali jika telah melihat hilal (bulan sabit kecil yang muncul di awal bulan) dengan mata kepala. Pada sebagian waktu, kami puasa satu atau dua hari sebelum mereka di bulan Romadhon. Mereka juga berbuka satu atau dua hari setelah (masuknya) hari raya…"
Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab: "Wajib mereka berpuasa bersama kaum manusia, dan sholat ied bersama kaum muslimin di negeri mereka berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (yang artinya), "Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung pada kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban 30 hari, pen)".Muttafaqun alaihi [HR. Al-Bukhoriy (1810), dan Muslim (1081)]
Maksudnya disini adalah perintah puasa dan berbuka (berhari raya), jika nyata adanya ru’yah (melihat hilal) dengan mata telanjang, atau dengan menggunakan alat yang membantu ru’yah (melihat hilal) berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (yang artinya), "(Waktu)Puasa pada hari mereka berpuasa, dan berbuka (berhari raya) pada hari mereka berbuka (berhari raya), dan berkurban pada hari mereka berkurban".[HR. Abu Dawud (2324), At-Tirmidziy (697), dan Ibnu Majah (1660). Lihat Ash-Shohihah (224)]
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya".

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313)

Soal: "Kami mendengar dari siaran radio berita permulaan masuknya puasa di Kerajaan Saudi Arabia, di waktu kami tidak melihat adanya hilal di Negeri Sahil Al-Aaj, Guinea, Mali, dan Senegal; walaupun telah ada perhatian untuk melihat hilal. Oleh sebab itu, terjadi perselisihan diantara kami. Maka diantara kami ada yang berpuasa, karena bersandar kepada berita yang ia dengar dari siaran radio, namun jumlah mereka sedikit.diantara kami; Ada yang menunggu sampai la melihat hilal di negerinya, karena mengamalkan firman Allah-Subhanahu wa Ta’la- (yang artinya),"Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu"; sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yang artinya), "Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya". dan sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yang artinya), "Bagi setiap daerah ada ru’yahnya". sungguh telah terjadi perdebatan yang sengit antara dua kelompok ini.maka berilah fatwa kepada kami tentang hal tersebut.
Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab: "Tatkala orang-orang dahulu dari kalangan para ahli fiqhi berselisih di dalam masalah ini; setiap orang diantara mereka memiliki dalil, maka -jika telah nyata terlihatnya hilal, baik melalui radio, atau yang lainnya di selain tempatmu-, wajib bagi kalian untuk mengembalikan masalah puasa atau tidak kepada penguasa umum (tertinggi) di negara kalian. jika ia (pemerintah) telah memutuskan berpuasa atau tidak, maka wajib atas kalian untuk mentaatinya, karena sesungguhnya keputusan penguasa akan menghilangkan adanya perselisihan didalam masalah seperti ini. Atas dasar ini, pendapat untuk berpuasa atau tidak akan bersatu, karena mengikuti keputusan kepala negara kalian; masalah akhirnya bisa terselesaikan.
Adapun kalimat yang berbunyi, "bagi setiap tempat memiliki ru’yah", ini bukanlah hadits dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Itu hanyalah merupakan ucapan kelompok yang menganggap berbedanya matla’ (waktu & tempat munculnya) hilal dalam memulai puasa Ramadhan dan akhirnya.
Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta–Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya".

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313)

Soal : Diantara perkara yang tak mungkin untuk melihat hilal dengan mata telanjang sebelum umurnya mencapai 30 jam. Setelah itu, tidak mungkin melihatnya, karena kondisi cuaca. Dengan memandang kondisi seperti ini, apakah mungkin bagi penduduk Inggris untuk menggunakan ilmu falak bagi negeri ini dalam menghitung waktu yang memungkinkan untuk melihat bulan baru (hilal), dan waktu masuknya bulan Romadhon, ataukah wajib bagi kami melihat bulan baru (hilal) sebelum kami memulaipuasa Ramadhan yang penuh berkah?
Jawab: "Boleh menggunakan alat-alat pengintai (teropong) untuk melihat hilal; namun tidak boleh bersandar kepadailmu-ilmu falaq untuk menetapkan awal bulan ramadhan yang suci dan idul fitri, karena sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’la- tidak men-syari’at-kan bagi kita hal tersebut, baik dalam Kitab-Nya, maupun sunnah Nabi-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Hanyalah disyariatkan bagi kita untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan akhirnya dengan melihat hilal bulan ramadhan pada awal puasa; Demikian pula melihat hilal Syawwal untuk berbuka dan bersatu dalam melaksanakan sholat idul fitri. Allah–Subhanahu wa Ta’la- telah menjadikan bulan sabit (hilal) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menenntukan waktu ibadah dengan cara apapun, selain dengan melihat hilal dari ibadah-ibadah, seperti puasa Ramadhan, hari ‘ied, ibadah haji, puasa untuk kaffarah (tebusan) membunuh, puasa kaffarah zhihar, dan lain sebagainya.
Allah -Ta’ala-’ berfirman (yang artinya), "Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu". [(QS. Al-Baqoroh: 185)]
"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal) itu, maka katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan haji".[(QS. Al-Baqoroh: 189)]
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda (yang artinya), "Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung di atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban) 30 hari”.
Berdasarkan hal itu, orang yang tak melihat hilal di tempatnya, baik ketika kondisi cuaca cerah, atau pun cuaca mendung, maka wajib baginya untuk menyempurnakan bilangan hari menjadi 30 hari, jika orang lain di tempat lain tak melihat hilal. Apabila telah nyata bagi mereka terlihatnya hilal di luar negeri mereka, maka harus bagi mereka mengikuti sesuatu yang telah diputuskan oleh pimpinan umum (penguasa tertinggi) yang muslim di negeri mereka tentang bolehnya puasa, dan berhari raya, karena keputusan penguasa dalam masalah seperti ini, akan menghilangkan khilaf diantara para ahli fiqih dalam memandang perbedaan tempat atau tidak". H

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 388)

Soal: "Bagaimana pandangan Islam tentang perbedaan hari raya kaum muslimin: Iedul Fithri, dan Iedul Adhha. Di samping itu, telah diketahui bahwa hal itu bisa mengantarkan kepada pelaksanaan puasa pada hari yang haram puasa padanya, yaitu hari ied; mengantarkan kepada pelaksanaan buka puasa (hari raya) pada hari yang masih wajib berpuasa di dalamnya? Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan dalam masalah penting ini agar menjadi hujjah di sisi Allah".
Jawab: "Jika mereka berselisih dalam perkara yang ada diantara mereka, maka mereka (harus) berpegang dengan keputusan penguasa di negara mereka, jika penguasanya adalah muslim, karena keputusan penguasa ini akan menghilangkan khilaf, dan mengharuskan ummat untuk mengamalkannnya. Jika penguasa bukan muslim, maka mereka harus memegang keputusan Mejelis Islamic Centre di negeri mereka, demi menjaga persatuan dalam puasa mereka di bulan Romadhon, dan pelaksanaan sholat ied di negeri mereka".

Fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy -rahimahullah-

Syaikh Nashir Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam Tamam Al-Minnah (hal. 398-399), "Sampai nanti negeri-negeri Islam bisa bersatu di atas hal itu (puasa & hari raya, ed), maka sesungguhnya sekarang aku memandang wajib bagi rakyat di setiap negara untuk berpuasa bersama negara (pemerintah)nya; tidak berpuasa sendiri-sendiri. Akhirnya, sebagian rakyat berpuasa bersama negara (pemerintah)nya, dan sebagian lagi puasa bersama negara lain"; negara (pemerintah) lebih dahulu berpuasa ataukah terlambat, karena di dalam hal ini terdapat sesuatu yang bisa memperluas perselisihan di sebuah rakyat sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri-negeri Arab sejak beberapa tahun yang silam, Wallahul Musta’an".
Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya berpuasa dan berhari raya ied bersama pemerintah demi menyatukan langkah. Di lain sisi, ia merupakan jalan Ahlus Sunnah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah. 

Sumber: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 30 Tahun I

Kamis, 23 Juni 2011

Soal Jawab: Tuntunan Berhari Raya dan Takbiran

Soal:
Assalamu ‘alaikum, ana mau tanya bagaimana tuntunan dalam berhari raya? bagaimana juga tuntunan mengumandangkan takbir?
Jawab:
Adapun berkenaan dengan tuntunan berhari raya dapat kami simpulkan sebagai berikut di bawah ini dari kumpulan beberapa kitab dan risalah berkenaan masalah 2 hari raya:
Pertama, Bersuci dengan mandi untuk hari raya, berdasarkan riwayat dari Nafi’ bahwa Abdullah Bin Umar mandi di hari raya ‘Idul Fitri sebelum berangkat ke Mushalla (tanah lapang untuk shalat) (HR. Imam Malik)
Kedua, Makan pada hari raya ‘Idul Fitri sebelum melaksanakan shalat dan tidak makan di hari raya ‘Idul Adha sampai selesai shalat, hal ini berdasarkan hadits dari Anas Bin Malik beliau berkata, “adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari ‘Idul Fitri sampai beliau memakan beberapa butir kurma” (HR. Bukhari) dan riwayat lain dari Buraidah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya Idul Adha tidak makan sampai kembali, lalu makan dari sembelihan kurbannya. (HR. Tirmidzi)
Ketiga, berhias dan mempercantik diri dengan memakai pakaian yang terbaik yang ada serta memakai minyak wangi dan bersiwak, sebagaimana Ibnul Qayyim di dalam Zaadul Ma’ad (I/441) menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki Hullas (sebuah jenis pakaian khusus) untuk berhari raya.
Keempat, disunahkan berangkat dengan berjalan kaki, tenang dan santai ke Musholla (tanah lapang), dan pulang melewati jalan yang lain, berdasarkan perkataan Imam Sa’id bin Mussayib, “Sunah Idul Fitri ada tiga: berangkat ke Musholla, makan sebelum berangkat dan mandi”. Ibnul Qayyim di dalam Zaadul Ma’ad ( I/449) berkata, “Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki dan keluar melalui jalan yang berbeda pada hari raya.” (Riwayat Al-Firyabi dengan sanad shahih lihat Irwaul Gholil, 2/104)
Adapun masalah tuntunan mengumandangkan takbir dalam hal ini kami jelaskan dulu tentang jenis-jenis takbir, bahwa takbir terdiri dari  2 jenis yaitu takbir mutlak (bebas) dan takbir muqayyad (terikat). Takbir mutlak menurut pendapat yang rajih (kuat), disyaratkan pada dua malam hari raya sampai selesai khutbah demikian juga disyaratkan di 10 hari pertama bulan Zulhijah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah di dalam Al Mughni, (3/256) berkenaan takbir di malam dua hari raya dimulai dari melihat hilal bulan Syawal (jika memungkinkan dan jika tidak maka dimulai dari sampai berita ‘Ied melalui cara yang benar atau dengan terbenamnya matahari tanggal 30 Ramadhan), sedangkan pada malam ‘Idul Adha mulai dari terbenamnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah, sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskannya, “Pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah takbir yang menjadi amalan mayoritas salaf dan ahli fikih dari kalangan sahabat dan para imam adalah bertakbir dari fajar hari Arafah sampai akhir hari tasyrik setelah shalat, disyaratkan bagi setiap orang mengeraskan takbirnya ketika keluar dari shalat ‘Ied dan inilah kesepakatan dari 4 imam mazhab. Adapun takbir Idul Fitri dimulai dari melihat hilal dan berakhir dengan selesainya ‘Ied yaitu selesainya imam dari khutbah menurut pendapat yang benar.” (Lihat Majmu Fatawa, XXIV/220-221)

Rabu, 22 Juni 2011

Tuntunan Hari Raya dan Takbiran

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Ana mau tanya bagaimana tuntunan dalam berhari raya? Bagaimana juga tuntunan mengumandangkan takbir?
Jawaban Ustadz:
Adapun berkenaan dengan tuntunan berhari-raya dapat kami simpulkan sebagai berikut di bawah ini dari kumpulan beberapa kitab dan risalah berkenaan masalah 2 hari raya:
Pertama, Bersuci dengan mandi untuk hari raya, berdasarkan riwayat dari Nafi’ bahwa Abdullah Bin Umar mandi di hari raya ‘Idul Fitri sebelum berangkat ke Musholla (tanah lapang untuk sholat) (HR. Imam Malik)
Kedua, Makan pada hari raya ‘Idul Fitri sebelum melaksanakan sholat dan tidak makan di hari raya ‘Idul Adha sampai selesai sholat, hal ini berdasarkan hadits dari Anas Bin Malik beliau berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari ‘Idul Fitri sampai beliau memakan beberapa butir kurma.”(HR. Bukhari), dan riwayat lain dari Buraidah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya Idul Adha tidak makan sampai kembali, lalu makan dari sembelihan kurbannya (HR. Tirmidzi)
Ketiga, berhias dan mempercantik diri dengan memakai pakaian yang terbaik yang ada serta memakai minyak wangi dan bersiwak, sebagaimana Ibnul Qoyyim di dalam Zaadul Ma’ad (I/441) menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemiliki Hullas (sebuah jenis pakaian khusus) untuk berhari raya.
Keempat, disunahkan berangkat dengan berjalan kaki, tenang dan santai ke Musholla (tanah lapang), dan pulang melewati jalan yang lain, berdasarkan perkataan Imam Sa’id bin Mussayib, “Sunah Idul Fitri ada tiga: berangkat ke Musholla, makan sebelum berangkat dan mandi.” Ibnul Qoyyim di dalam Zaadul Ma’ad ( I/449) berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki dan keluar melalui jalan yang berbeda pada hari raya.” (Riwayat Al-Firyabi dengan sanad shahih lihat Irwaul Gholil 2/104)
Adapun masalah tuntunan mengumandangkan takbir dalam hal ini kami jelaskan dulu tentang jenis-jenis takbir, bahwa takbir terdiri dari 2 jenis yaitu Takbir Mutlak (bebas) dan Takbir Muqoyyad (terikat). Takbir Mutlak menurut pendapat yang rajih (kuat), disyaratkan pada dua malam hari raya sampai selesai khutbah demikian juga disyaratkan di 10 hari pertama bulan Zulhijah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qudamah di dalam Al Mughni (3/256) berkenaan takbir di malam dua hari raya dimulai dari melihat hilal bulan syawal (jika memungkinkan dan jika tidak maka dimulai dari sampai berita ‘Id melalui cara yang benar atau dengan terbenamnya matahari tanggal 30 Ramadhan), sedangkan pada malam ‘Idul Adha mulai dari terbenamnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah, sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskannya, “Pendapat yang rajih dalam masalah takbir yang menjadi amalan mayoritas salaf dan ahli fikih dari kalangan sahabat dan para imam adalah bertakbir dari fajar hari Arafah sampai akhir hari tasyrik setelah sholat, disyaratkan bagi setiap orang mengeraskan takbirnya ketika keluar dari sholat ‘Id dan inilah kesepakatan dari 4 imam mazhab. Adapun takbir Idul Fitri dimulai dari melihat hilal dan berakhir dengan selesainya ‘Ied yaitu selesainya imam dari khutbah menurut pendapat yang benar.” (Lihat Majmu Fatawa XXIV/220-221).
***
Penanya: Partono
Dijawab oleh: Ust. Jundi Abdullah, Lc.
(Staf Pengajar Islamic Centre Bin Baz)
Sumber: muslim.or.id

Selasa, 21 Juni 2011

Tidak Mampu Mengqadha Puasa

Tanya :
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Saya seorang wanita yang sakit, saya tidak berpuasa beberapa hari pada bulan Ramadhan lalu dan karena sakit yang saya alami maka saya tidak dapat mengqadha puasa, apakah yang harus saya lakukan sebagai kaffarah -nya? Kemudian juga, saya tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, apakah yang saya lakukan sebagai kaffarah-nya?
Jawab :
Orang sakit yang menyebabkan sulit baginya untuk berpuasa disyari'atkan untuk tidak berpuasa, lalu jika Allah memberinya kesembuhan maka ia harus mengqadha puasanya itu berdasarkan firman Allah: " dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 185) Dan Anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini jika Anda masih dalam kondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah bagi orang yang sakit serta orang yang musafir, dan Allah suka jika rukhshahNya itu dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa, semoga Allah memberi Anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat.