Kamis, 28 Juni 2012

Seseorang Yang Pindah Ke Negeri Lain Di Pertengahan Bulan Ramadhan

Apa yang harus dilakukan seseorang yang pindah dari negerinya ke negeri lain di pertengahan bulan Ramadhan, sementara kedua negeri tersebut berbeda dalam penetapan awal Ramadhan?

Alhamdulillah, jika seseorang berada di suatu tempat yang penduduknya memulai puasa Ramadhan pada hari tertentu, maka ia wajib berpuasa bersama penduduk negeri tersebut. Dalam kondisi demikian, status hukum para pendatang sama seperti status hukum penduduk negeri tersebut. Berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:
"Hari berpuasa ialah hari ketika kalian semua berpuasa, Hari Raya ialah hari ketika kalian semua merayakan Hari Raya, Hari Raya Adha ialah ketika kalian semua merayakannya."
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad hasan dan terdapat beberapa riwayat pendukung lainnya yang diriwayatkan oleh beliau dan imam lainnya.
Dan apabila ia memulai puasa Ramadhan bersama penduduk negeri asalnya kemudian ia pindah ke negeri lain, maka dalam penetapan Hari Raya ia harus mengikuti negeri tempat ia bermukim ketika itu. Ia harus berhari raya bersama penduduk negeri tersebut. Meskipun penduduk negeri tersebut lebih awal berhari raya daripada negeri asalnya. Akan tetapi jika ia berhari raya bersama penduduk negeri tersebut ternyata puasa Ramadhannya kurang dari dua puluh sembilan hari maka ia wajib mengqadha' puasanya sehari. Sebab satu bulan tidak akan kurang dari dua puluh sembilan hari.
Fatawa Lajnah Daimah X/124./islamqa

Pengaruh Obat-Obat Kimia Terhadap Ibadah Puasa

Adakah pendapat-pendapat alim ulama yang berkenaan dengan penggunaan obat-obatan yang diizinkan dan tidak mengganggu puasa, sebagai contoh: 
(1) Kapsul dan sirup, 
(2) Alat hirup untuk penderita asma dan sesak nafas, 
(3) spiral, 
(4) Injeksi (infus).
Mengenai penyakit sesak nafas sangat perlu dibicarakan, karena sekitar dua puluh persen anak-anak terserang penyakit tersebut. Kami mengharapkan Anda sudi menjelaskannya, bila perlu sertakan juga penjelasan beberapa perkara yang berkaitan dengan masalah ini. Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Alhamdulillah, berikut ini akan kami sebutkan beberapa perkara yang biasa digunakan dalam dunia kedokteran, berikut penjelasan mana yang membatalkan puasa dan mana yang tidak. Pejelasan berikut ini merupakan kesimpulan beberapa pembahasan syar'i yang diajukan kepada Majelis Mujamma' Fiqih Islami dalam beberapa seminarnya. Majelis menyimpulkan sebagai berikut:
Pertama: Perkara yang tidak termasuk pembatal puasa:
1-Obat tetes mata, obat tetes telinga, cleaner pembersih telinga, obat tetes hidung atau alat hirup jika masuknya zat ke dalam kerongkongan dapat dihindari.
2-Alat (lempengan) yang diletakkan di bawah lidah untuk pengobatan penyakit tenggorokan atau penyakit lainnya jika masuknya zat ke dalam kerongkongan dapat dihindari.
3-Alat yang dimasukkan ke dalam saluran rahim (vagina), sperti spiral, pembersih, alat kontrasepsi lainnya atau memasukkan jari untuk tujuan pemeriksaan medis.
4-Memasukkan alat kontrasepsi, spiral dan sejenisnya ke dalam rahim.
5-Alat yang dimasukkan ke dalam saluran pembuangan lelaki ataupun wanita, seperti pipet, cermin mata, alat pelindung dari sengatan matahari, obat dan larutan pembersih kandung kemih.
6-Alat pelubang, pencabut, pembersih gigi, siwak (sejenis kayu untuk menyikat gigi) dan sikat gigi jika masuknya zat ke dalam kerongkongan dapat dihindari.
7-Kumur-kumur, cairan kumur, alat hirup yang diletakan di mulut jika masuknya zat ke dalam kerongkongan dapat dihindari.
8-Alat injeksi untuk pengobatan kulit, otot atau urat, kecuali cairan atau injeksi zat makanan.
9-Gas oxigen.
10-Anastesi lokal (obat bius) selama si sakit tidak diberikan cairan infus.
11-Zat yang diserap oleh kulit dalam bentuk minyak, salep dan plester (perban) yang dibubuhi obat-obat kimia.
12-Memasukkan pipet kecil ke dalam urat nadi untuk pengecekan dan pengobatan kerja jantung atau kerja organ tubuh lainnya.
13-Memasukkan tabung kaca kecil di sela lapisan perut untuk diagnosa dan operasi penyakit asma.
14-Mengambil cairan dari dalam hati, ginjal dan organ tubuh lainnya selama tidak disertai cairan infus.
15-Memasukkan tabung kaca kecil ke dalam lambung atau usus selama tidak disertai cairan infus atau cairan-cairan lainnya.
16-Memasukkan cairan atau zat ke dalam otak atau jaringan syaraf.
17-Muntah tanpa disengaja.
Kedua: Seorang dokter muslim seyogyanya menganjurkan kepada pasiennya untuk menunda pengobatan penyakit yang dapat ditunda pengobatannya dan tidak menimbulkan bahaya hingga setelah waktu berbuka puasa untuk bentuk-bentuk pengobatan tersebut di atas (sehingga tidak merusak puasanya).
Mujamma' Fiqih Islami hal 213./islamqa

Membatalkan Puasa Bulan Ramadhan Dan Tidak Mengqadha'nya Karena Malu

Ketika masih berusia tiga belas tahun saya biasa berpuasa pada bulan Ramadhan. Suatu kali diam-diam saya membatalkan puasa karena haidh selama empat hari. Saya tidak menceritakan hal itu kepada seorangpun karena malu. Sekarang sudah berlalu delapan tahun, apa yang harus saya lakukan?

Alhamdulillah, saudari telah keliru karena meninggalkan qadha puasa selama jangka waktu tersebut. Perlu saudari ketahui bahwa haidh adalah sesuatu yang telah Allah gariskan atas kaum wanita dan tidak perlu malu dalam menjalankan agama. Hendaklah saudari segera mengganti puasa empat hari tersebut dan saudari wajib membayar kifarat, yaitu memberi makan fakir miskin sebanyak hari yang ditinggalkan sebesar dua sha' makanan pokok sehari-hari. 
Dinukil dari kumpulan fatwa Syaikh Bin Baz/islamqa

Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Orang Yang Meninggalkan Puasa?

Saya adalah seorang gadis yang berusia 25 tahun. Akan tetapi sejak kecil sampai usia 21 tahun saya tidak pernah shalat dan berpuasa karena malas. Kedua orang tua saya selalu memberi nasihat kepada saya namun saya tidak mengacuhkannya. Apakah yang wajib saya lakukan? Perlu diketahui sekarang Allah telah memberi hidayah-Nya kepada saya. Sekarang saya rajin berpuasa dan menyesali perbuatan saya dahulu.

Alhamdulillah, sesungguhnya taubat akan menghapus kesalahan-kesalahan masa lalu. Hendaknya saudari benar-benar bertaubat kepada Allah dan membulatkan tekad (untuk tidak melakukannya lagi) serta jujur dalam beribadah. Jangan lupa juga, perbanyaklah amalan-amalan sunnat, seperti shalat malam, shalat dhuha, mengerjakan puasa-puasa sunnat, dzikir, membaca Al-Qur'an dan berdoa. Sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat hamba-Nya dan mengampuni kesalahan-kesalahan.
Dinukil dari kumpulan fatwa Syaikh Bin Baz./islamqa

Waktu Menunaikan Zakat Fitrah


Permasalahan zakat fitrah

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Akhir-akhir ini sudah banyak lembaga zakat yang membuka stand untuk menampung muslimin yang ingin mengeluarkan zakat fitrahnya. Mereka berpendapat bahwa zakat fitrah sudah boleh dikeluarkan mulai sekarang (sebelum id), karena jika semua orang mengeluarkan zakat fitrahnya secara bersamaan pada saat malam menjelang id, amil zakat akan sangat kesulitan mendistribusikan zakat-zakat tersebut.
Pertanyaan:
  1. Apakah hal ini diperbolehkan, Ustadz?
  2. Lebih baik manakah: mengeluarkan zakat fitrah di tempat kita tinggal atau di lokasi lain? Misal, saya tinggal di Denpasar, lalu sebelum id, saya akan mudik ke Jawa, lebih baik di manakah zakat fitrah saya keluarkan?
Syukron, jazakumullohu khoiron.
Abu Fawzan (fawzan**@***.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Waktu mulai menunaikan zakat fitri (zakat fitrah)

Penamaan yang ditunjukkan dalam hadis untuk zakat ini adalah “zakat fitri” (arab: زكاة الفطر ), bukan “zakat fitrah”. Gabungan dua kata ini ‘zakat fitri’ merupakan gabungan yang mengandung makna sebab-akibat. Artinya, penyebab diwajibkannya zakat fitri ini adalah karena kaum muslimin telah selesai menunaikan puasanya di bulan Ramadan (berhari raya).” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, jilid 23, hlm. 335, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait).
Berdasarkan pengertian di atas, zakat fitri ini (zakat fitrah) disyariatkan disebabkan adanya “fitri”, yaitu waktu selesainya berpuasa (masuk hari raya). Rangkaian dua kata ini ‘zakat fitri’ mengandung makna pengkhususan. Artinya, zakat ini khusus diwajibkan ketika ada waktu fitri. Siapa saja yang menjumpai waktu fitri ini, zakat fitrinya wajib ditunaikan. Sebaliknya, siapa saja yang tidak menjumpai waktu fitri maka tidak wajib baginya ditunaikan zakat fitri.

Kapan batas waktu “fitri” (zakat fitrah)?

Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu “fitri” adalah waktu sejak terbenamnya matahari di hari puasa terakhir sampai terbitnya fajar pada tanggal 1 Syawal. (Syarh Shahih Muslim An-Nawawi, 7:58)
Syekh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) di awal Ramadan. Dalam Fatawa Arkanul Islam Syekh Ibnu Utsaimin, hlm. 434, jawaban beliau termuat, “Zakat fitri (zakat fitrah) dikaitkan dengan waktu ‘fitri’ karena waktu ‘fitri’ adalah penyebab disyariatkannya zakat ini. Jika waktu fitri setelah Ramadan (tanggal 1 Syawal) merupakan sebab adanya zakat ini, itu menunjukkan bahwa zakat fitri (zakat fitrah) ini terikat dengan waktu fitri tersebut, sehingga kita tidak boleh mendahului waktu fitri.
Oleh karena itu, yang paling baik, waktu mengeluarkan zakat ini adalah pada hari Idul Fitri, sebelum melaksanakan shalat. Hanya saja, boleh didahulukan sehari atau dua hari sebelum shalat id, karena ini akan memberi kemudahan bagi pemberi dan penerima zakat. Adapun sebelum itu –pendapat yang kuat di antara pendapat para ulama adalah– tidak boleh.
Berdasarkan keterangan ini, waktu menunaikan zakat fitri (zakat fitrah) ada dua:
  1. Waktu boleh, yaitu sehari atau dua hari sebelum hari raya.
  2. Waktu utama, yaitu pada hari hari raya sebelum shalat.
Adapun mengakhirkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) sampai setelah shalat maka ini hukumnya haram dan zakatnya tidak sah. Berdasarkan hadis Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,
من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات
Barang siapa yang menunaikan zakat fitri sebelum shalat maka itu adalah zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat maka statusnya hanya sedekah.’ (H.r. Abu Daud dan Ibnu Majah; dinilai hasan oleh Al-Albani)
Kecuali bagi orang yang tidak tahu tentang hari raya, seperti orang yang tinggal di daratan terpencil, sehingga dia agak telat mengetahui waktu tibanya hari raya, atau kasus semisalnya. Dalam keadaan ini, diperbolehkan menunaikan zakat fitri setelah shalat id, dan statusnya sah.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Demikian penjelasan ustadz tentang permasalahan zakat fitrah, waktu zakat fitrah, dan koreksi istilah zakat fitrah


Lailatul Qadar dan Tanda-Tandanya


Tanda Lailatul Qadar

Apa sajakah tanda lailatul qadar?

Jawaban:
Di antara tanda-tanda lailatul qadar adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut ini.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tanda lailatul qadar,
ليلة طلقة لا حارة و لا باردة تصبح الشمس يومها حمراء ضعيفة
Dia adalah malam yang indah, sejuk, tidak panas, tidak dingin, di pagi harinya matahari terbit dengan cahaya merah yang tidak terang.” (H.r. Ibnu Khuzaimah; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Kemudian, ciri yang lain adalah malam ini umumnya terjadi di malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.
Dalil yang menunjukkan hal ini: Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menghidupkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Beliau bersabda, “Carilah malam qadar di malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
Barang siapa yang tidak mampu beribadah di awal sepuluh malam terakhir, hendaknya tidak ketinggalan untuk beribadah di tujuh malam terakhir. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang lailatul qadar, “Carilah di sepuluh malam terakhir. Jika ada yang tidak mampu maka jangan sampai ketinggalan ibadah di tujuh malam terakhir.” (H.r. Muslim)

Catatan untuk mendapatkan lailatul qadar:

Selayaknya, kaum muslimin untuk tidak pilih-pilih malam untuk beribadah, sehingga hanya mau rajin ibadah jika menemukan tanda-tanda lailatul qadar di atas, karena bisa jadi ciri-ciri itu tidak dijumpai oleh sebagian orang. Mungkin juga, pada hakikatnya, ini adalah sikap pemalas, hanya mencari untung tanpa melakukan banyak usaha. Bisa jadi, sikap semacam ini membuat kita jadi tertipu karena Allah tidak memberikan taufik untuk beribadah pada saat lailatul qadar.
Sebaliknya, mereka yang rajin beribadah di sepanjang malam dan tidak pilih-pilih, insya Allah akan mendapatkan lailatul qadar. Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah memberikan nasihat tentang lailatul qadar, kemudian beliau berkata,
من يقم الحول يصبها
Siapa saja yang shalat malam sepanjang tahun, dia akan mendapatkannya.” (H.r. Ahmad dan Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Ketika mendengar keterangan dari Ibnu Mas’ud ini, Abdullah bin Umar mengatakan, “Semoga Allah merahmati Ibnu Mas’ud, sebenarnya beliau paham bahwa lailatul qadar itu di bulan Ramadan, namun beliau ingin agar masyarakat tidak malas.” (Tafsir Al-Baghawi, 8:482)
Allahu a’lam.
***
Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.comPembahasan: Lailatul Qadar


Cuci Darah ketika Puasa


Cuci Darah Saat Puasa

Assalamu ‘alaykum. Ustadz, saya sudah baca tanya-jawab mengenai mengeluarkan darah untuk penelitian laboratorium ketika puasa, dan hukumnya tidak membatalkan puasa. Namun untuk bekam, itu membatalkan puasa. Apa dalil yang menunjukkan mengeluarkan darah yang banyak (seperti: bekam) membatalkan puasa, Ustadz? Terus, bagaimana dengan cuci darah, apakah membatalkan puasa juga? Ayah saya melakukan cuci darah seminggu 2 kali. Apakah ayah saya harus mengganti puasanya di hari lain akibat cuci darah? Mohon penjelasannya.

Abu Abdillaah (abu**@***.com)

Hukum cuci darah ketika puasa

Lajnah Daimah (Komite Tetap untuk Fatwa dan Penelitian Ilmiah) ditanya, “Apakah cuci darah bisa membatalkan puasa?”
Pertama, Lajnah Daimah memberikan kesimpulan dari keterangan tim medis tentang proses cuci darah, yang intinya: mengeluarkan darah dari pasien, dimasukkan ke dalam suatu alat agar dilakukan perawatan tertentu, kemudian dikembalikan ke tubuh pasien. Dalam proses ini, zat kimia dan mineral tertentu ditambahkan ke dalam darah tersebut, seperti: kadar gula, ion tubuh, atau yang lainnya.
Kedua, setelah Lajnah Daimah melakukan pengkajian tentang sistem kerja cuci darah, melalui beberapa informasi dari beberapa pakar kedokteran, mereka memfatwakan bahwa cuci darah membatalkan puasa.
Wa billahit taufiq. (Kumpulan Fatwa Lajnah Daimah, 10:190)
**
Syekh Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum cuci darah ketika puasa. Beliau menjawab, “… Saya khawatir, proses pencucian ini dicampur dengan beberapa nutrisi mineral, sehingga menggantikan makan dan minum. Jika keadaannya demikian, statusnya membatalkan puasa. Oleh karena itu, jika ada orang yang mendapatkan ujian dengan penyakit ini sepanjang hidupnya maka dia tergolong orang yang sakit, yang tidak ada harapan untuk sembuh, sehingga dia boleh membayar fidyah.
Akan tetapi, jika campuran yang disisipkan di darah pasien ketika proses dialisis (cuci darah) bukan nutrisi bagi tubuh, namun hanya sebatas membersihkan dan mencuci darah, maka hal ini tidak membatalkan puasanya, sehingga seseorang boleh mengambil tindakan medis ini meskipun sedang berpuasa. Persoalan semacam ini perlu ditanyakan ke dokter.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 20:113)
Kesimpulan dari Syekh Muhammad Al-Munajid, “Pasien yang harus melakukan cuci darah, puasanya batal di hari dilakukannya tindakan dialisis. Jika masih memungkinkan untuk qadha maka dia wajib qadha. Namun, jika tidak memungkinkan untuk mengqadha maka statusnya sebagaimana orang tua yang tidak mampu puasa. Dia boleh tidak puasa ketika proses cuci darah dan diganti dengan fidyah.”
***
Sumber: www.islamqa.com
Jawaban ini diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Membatalkan Puasa Ketika Ingin Safar


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Ustadz Pengasuh, mengenai bolehnya musafir untuk berbuka/tidak puasa. Pertanyaannya, bila kita berniat untuk keesokan hari bersafar, apakah kita pada saat esok hari tersebut langsung tidak berpuasa sejak fajar, ataukah kita tetap berpuasa lalu membatalkannya saat di perjalanan?
Ruly Haryanto (**ruly@***.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Allah memberi keringanan kaum muslimin untuk tidak berpuasa ketika safar, dan meng-qadha’nya di hari yang lain, sebagai bentuk kemudahan dan keringanan yang Allah berikan. Allah berfirman,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر
Barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Q.s. Al-Baqarah:185)
Seseorang belum dinamakan musafir, sampai dia mulai melakukan perjalanan. Adapun semata berniat dan punya keinginan untuk safar maka itu belum memperbolehkannya untuk mengambil rukhshah yang dikaitkan dengan safar. Karena itu, jika semata-mata baru niat maka dia tidak boleh berbuka dan tidak boleh meng-qashar shalat, selama masih mukim.
Orang yang hendak safar, namun belum mulai melakukan perjalanan, dihukumi sebagaimana orang mukim, dia wajib menyempurnakan shalatnya, berpuasa dan tidak berbuka. Barang siapa yang berbuka sebelum memulai safar, dengan alasan telah berniat untuk safar maka dia wajib meng-qadha’ puasanya dan tidak ada kewajiban kafarah. (Diambil dari Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih)
Catatan:
Bagi orang yang hendak safar dan dia sudah siap di atas kendaraan untuk berangkat, diperbolehkan membatalkan puasa. Dalilnya, Muhammad bin Ka’b radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku mendatangi Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu di bulan Ramadan. Ketika itu, beliau hendak safar dan telah siap dia atas kendaraan dan memakai pakaian safar, sementara sebentar lagi matahari akan tenggelam. Kemudian beliau minta diambilkan makanan, lalu beliau makan dan langsung naik kendaraan. Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah ini sunah?’ Anas menjawab, ‘Ya (termasuk sunnah).’” (H.r. Baihaqi dan Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).


Tidak Mampu Puasa tapi tidak Mampu Fidyah


Pertanyaan:
Ada wanita tua yang belum menikah dan sangat miskin. Suatu ketika, dia sedang sakit keras. Bolehkan dia tidak berpuasa, sementara dia tidak mampu membayar fidyah?

Jawaban:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulilllah.
Jika sakit wanita ini hanya sementara maka dia wajib meng-qadha di hari yang lain, setelah sembuh. Berdasarkan firman Allah,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّة مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Siapa saja di antara kalian yang sakit atau bersafar, kemudian dia berbuka, maka hendaknya dia mengganti di hari yang lain sesuai jumlah hari yang ditinggalkan.” (Q.s. Al-Baqarah:184)
Namun, jika sakitnya menahun (tidak ada harapan sembuh) maka dia wajib membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin. Jika tidak mampu dan ada orang lain yang menanggung fidyahnya maka hukum fidyahnya sah, karena menggantikan orang lain dalam urusan harta itu diperbolehkan.
Jika tidak ada orang yang menggantikannya dalam membayarkan fidyahnya maka kewajiban ini tidak gugur dan tetap menjadi tanggungannya, sampai dia mampu membayar. Jika dia sampai meninggal namun dia belum mampu membayar fidyah maka tidak ada tanggungan apa pun baginya. Sebagaimana yang Allah firmankan,
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Q.s. Al-Baqarah:286)
Allah juga berfirman,
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (Q.s. Ath-Thalaq:7)
Allahu a’lam.
Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus, no. 78.
Sumberhttp://www.ferkous.com/rep/Ramadhan-fatawa/Bg5.php
Diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah.com).


Tidak Pernah Shalat kecuali di Bulan Ramadan


Pertanyaan:
Apa hukum puasa untuk orang yang tidak pernah shalat kecuali di bulan Ramadan, bahkan terkadang puasa namun tidak shalat?

Jawaban:
Terdapat satu kaidah: Setiap orang yang berstatus kafir maka seluruh amalnya batal.
Allah berfirman,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Andaikan mereka berbuat syirik maka akan hilang semua amal yang pernah mereka lakukan.” (Q.s. Al-An’am:88)
Allah juga berfirman,
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (murtad) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Q.s. Al-Maidah:5)
Sebagian ulama berpendapat orang yang meninggalkan shalat tidak keluar dari Islam, selama dia masih meyakini bahwa shalat itu wajib. Hanya saja, orang ini dianggap melakukan perbuatan kufur kecil dan melakukan amal yang sangat buruk, lebih jelek daripada orang yang melakukan zina, mencuri, dan semacamnya. Namun, puasanya sah, jika lakukan sesuai aturan syariat. Hanya saja, pelanggaran orang ini, dia tidak menjaga shalatnya. Dia berada dalam bahaya yang sangat besar karena bisa terjerumus ke dalam syirik besar, menurut sebagian ulama ….
Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat, di antara perbedaan pendapat ulama, bahwa dia telah melakukan kekafiran besar (keluar dari Islam) –semoga Allah melindungi kita– berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan di atas. Karena itu, siapa saja yang puasa sementara dia tidak shalat maka tidak ada puasa baginya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15:179)
Diambil dari http://www.binbaz.org.sa/mat/2105
**
Keterangan tambahan dari Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah):
Di antara dalil yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat adalah:
1. Firman Allah,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّين
Jika mereka bertobat, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat maka mereka adalah saudara kalian seagama.” (Q.s. At-Taubah)
Allah mempersyaratkan adanya persaudaraan antara kita dengan orang musyrik dengan tiga hal: tobat dari syirik, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat.
2. Hadis dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
Sesungguhnya, batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (H.r. Muslim)
3. Hadis dari Buraidah bin Hashib radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر
Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Siapa saja yang meninggalkannya maka dia kafir.” (H.r. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Turmudzi, dan Ibnu Majah)


Bersiwak dan Memakai Minyak Wangi saat Puasa


Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya bersiwak dan memakai minyak wangi bagi orang yang puasa?

Jawaban:
Yang benar bahwa bersiwak bagi orang yang sedang puasa hukumnya sunnah di awal hari dan di akhir hari, karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Siwak itu membersihkan mulut dan mendapat keridhaan Tuhan.” (Diriwayatkan al-Bukhari).
Kemudian sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقُّ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ. (متفق عليه
“Sekiranya tidak akan menyusahkan umatku, niscaya aku akan menyuruh mereka bersiwak setiap kali hendak mendirikan shalat.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Sedangkan minyak wangi juga diperbolehkan bagi orang yang sedang berpuasa baik di siang maupun di akhir hari, baik minyak wangi itu berupa kayu gaharu, minyak semprot dan sebagainya, hanya saja tidak diperbolehkan untuk menyedot asap kayu gaharu, karena asap kahyu gaharu mempunyai unsur tertentu yang bisa disaksikan dan jika dihirup asapnya akan masuk hidung dan kemudian ke dalam perutnya. Maka dari itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada al-Qaith bin Shabrah, “Sempurnakan dalam membersihkan hidung kecuali jika kamu berpuasa.” (HR. Abu Dawud).
Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, ShalatZakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul Islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007