Rabu, 06 Mei 2020

Qunut Nazilah Untuk Cegah Corona?




Bismillah

Assalamu’alaikum ustadz

Afwan ustadz. Ini menyampaikan pertanyaan dari pengurus bidang dakwah.
Apakah disaat wabah ini perlu menambahkan doa qunut disholat subuh. Mohon penjelasan ustadz. Syukron. Baarokallahu fiik

Dari : Mas Udin, di Sleman Yoyakarta.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Bismillah walhamdulillah was sholaatu was salam ‘ala Rasulillah, waba’du.

Menurut pandangan syariat, corona tergolong wabah. Para ulama seperti Ibnu Hajar rahimahullah, menjelaskan definisi waba’ (atau wabah dalam bahasa kita),

اسم لكل مرض عام

Istilah untuk menyebut segala penyakit yang menyebar kepada umumnya masyarakat. (Ghomzu ‘Uyun Al-Basho-ir 4/136 & Roddul Mukhtar 3/69)

Setelah kita tahu bahwa corona adalah wabah menurut kacamata syariat, kemudian mari kita pelajari pendapat para ulama tentang hukum qunut Nazilah untuk mengusir wabah. Ada tiga pendapat ulama dalam hal ini :

[1] Qunut nazilah disyariatkan untuk mengusir wabah tho’un dan wabah lainnya. Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama mazhab Hanafi, menjadi pendapat resmi mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.

[2] Qunut nazilah disyariatkan hanya untuk mengusir wabah penyakit selain tho’un. Karena orang yang meninggal karena tho’un, diberi pahala syahid. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i.

[3] qunut nazilah tidak disyariatkan untuk tho’un dan wabah penyakit lainnya. Ulama yang memilih pendapat ini, beberapa ulama Hambali dan Hanafi.

Wabah tho’un pada tiga pendapat fikih di atas, disebutkan secara khusus. Padahal secara definisi, tho’un termasuk wabah. Hal ini karena penyakit tho’un terdapat hadis khusus yang menjelaskan ganjarannya serta pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam, dan wabah ini meluas di masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu.

Catatan tebal juga tentang pembahasan ini :

Tho’un tergolong wabah, namun tidak semua wabah itu disebut tho’un. Seperti wabah virus Corona, tidak bisa disebut tho’un. Karena tho’un nama penyakit tertentu.

Tentang wabah tho’un, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

الشهداء خمسة المطعون والمبطون، والغريق، وصاحب الهدم، والشهيد في سبيل الله متفق عليه

“Orang yang mati syahid ada lima macam, yaitu orang yang meninggal karena wabah tha’un, sakit perut, tenggelam, tertiban reruntuhan, dan orang syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pendapat yang Kuat (Rojih)

Pendapat yang paling kuat dari tiga pendapat di atas adalah, pendapat pertama. Bahwa qunut nazilah disyariatkan untuk mengusir semua jenis wabah, termasuk di dalamnya tho’un. Sehingga wabah virus Corona, termasuk sebab disunahkan melakukan qunut Nazilah.

Dalilnya adalah sebagai berikut :

Pertama, wabah corona termasuk nazilah (musibah besar). Karena musibah ini telah dirasakan di banyak negeri kaum muslimin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,

القنوت مسنون عند النوازل، وهو قول فقهاء أهل الحديث، وهو المأثور عن الخلفاء الراشدين رضي الله عنهم

Melakukan qunut disunahkan di saat terjadi nazilah (musibah besar). Inilah pendapat para ahli fikih dari kalangan ahli hadis. Dan juga diriwayatkan dari para Khulafaur Rasyidin radhiyallahu’anhu ‘anhum. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 23/108)

Kedua, qiyas dengan qunut nazilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

Di zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah terjadi musibah pemboikotan serta penyiksaan sejumlah sahabat yang masih tinggal di Makkah, dilarang untuk hijrah ke Madinah. Lalu kemudian Nabi melakukan qunut nazilah.

Demikian pula saat tujuh puluh sahabat Nabi gugur di tangan kabilah Ri’l, Dzakwan dan Bani Lihyan. Mari kita simak cerita dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ اسْتَمَدُّوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَدُوٍّ فَأَمَدَّهُمْ بِسَبْعِينَ مِنَ الْأَنْصَارِ كُنَّا نُسَمِّيهِمُ الْقُرَّاءَ فِي زَمَانِهِمْ كَانُوا يَحْتَطِبُونَ بِالنَّهَارِ وَيُصَلُّونَ بِاللَّيْلِ حَتَّى كَانُوا بِبِئْرِ مَعُونَةَ قَتَلُوهُمْ وَغَدَرُوا بِهِمْ فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو فِي الصُّبْحِ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ قَالَ أَنَسٌ فَقَرَأْنَا فِيهِمْ قُرْآنًا ثُمَّ إِنَّ ذَلِكَ رُفِعَ (بَلِّغُوا عَنَّا قَوْمَنَا أَنَّا لَقِينَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَأَرْضَانَا)

“Penduduk kabilah Ri’l, Dzakwan, Ushayyah, dan Bani Lihyan meminta bantuan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melawan musuh. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun mengirimkan tujuh puluh orang sahabat dari kaum Anshor yang biasa kami sebut al-Qurra’ (para penghafal al-Qur’an).

Al-Qurra’ pada masa itu biasa mencari kayu bakar di siang hari (sebagai mata pencaharian mereka) dan di malam hari mereka tekun shalat malam.

Di saat rombongan Al-Qurra’ tiba di Bi’r Ma’unah, mereka dibunuh dan dikhianati oleh penduduk keempat kabilah tersebut.

Berita itu sampai kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliaupun melakukan qunut (qunut nazilah) selama satu bulan penuh di shalat Subuh. Beliau mendoakan kebinasaan penduduk beberapa kabilah Arab, yaitu marga Ri’l, Dzakwan, Ushayyah, dan Bani Lihyan (HR. Bukhari).

Sisi qiyasnya adalah, jika musibah yang dirasakan oleh sejumlah orang saja disunahkan qunut, maka wabah corona yang bahayanya dirasanya oleh mayoritas negeri kaum muslimin, tentu lebih disunahkan untuk berqunut.

Ketiga, fatwa ulama.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,

والصحيح المشهور أنه إذا نزلت نازلة كعدو وقحط ووباء وعطش وضرر ظاهر بالمسلمين ونحو ذلك، قنتوا في جميع الصلوات المكتوبات

“Yang tepat dan merupakan pendapat terkenal di kalangan para ulama, apabila ada musibah seperti diserang musuh, kemarau panjang, wabah penyakit, kekeringan serta bahaya yang tampak membahayakan lain muslim dll, hendaknya melakukan qunut di semua sholat fardu.” (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim 5/176)

Fatwa Mufti Negeri Mesir, Syekh Dr Ibrahim Syauqi ‘Allam, secara spesifik membahas tentang qunut nazilah untuk wabah corona :

يجوز شرعًا القنوت في الصلاة لصرف مرض الكورونا؛ لِكونه نازلةً من النوازل، ومصيبة من المصائب حلَّت بكثير من بلدان العالم، سواء كان القنوت لرفعه أو دفعه

Secara syari’at, boleh melakukan qunut nazilah di dalam shalat fardhu, dalam rangka mengusir wabah virus corona. Mengingat wabah corona tergolong musibah besar (nazilah), yang telah menimpa mayoritas negeri di dunia ini. Boleh melakukan qunut nazilah, baik untuk mengusirnya atau mencegahnya.(dikutip dari laman resmi lembaga fatwa Mesir )

Kesimpulannya, qunut nazilah untuk mengusir wabah virus corona disunahkan.

Tatacara Qunut Nazilah

Qunut nazilah boleh dilaksanakan di seluruh sholat fardhu. Namun paling sering Nabi melakukannya di sholat subuh, kemudian di sholat maghrib, kemudian isya, kemudian duhur, kemudian asar.

Doa qunut nazilah diucapkan pada saat bangkit dari ruku’ di raka’at terakhir (I’tidal).
Tidak ada batasan waktu tertentu terkait pelaksaan qunut nazilah. Disunahkan sampai musibah (nazilah) nya hilang.

Doa qunut disunahkan singkat.
Tidak ada redaksi tertentu untuk doa qunut nazilah. Boleh berdoa denga redaksi apa saja, asalkan berbahasa arab dan isi doa sesuai dengan musibah yang sedang dialami.
Adapun doa qunut subuh atau qunut witir, tidak disunahkan untuk dipakai untuk qunut nazilah.

Imam dan makmum disunahkan mengangkat tangan saat berdoa qunut nazilah.
Mengeraskan suara doa, meskipun dilakukan pada sholat-sholat yang lirih (sir), seperti duhur dan ashar.

Makmum disunahkan mengamini.

Qunut nazilah boleh dilakukan oleh orang yang sholat sendirian (munfarid), tidak harus dilaksanakan dalam sholat berjama’ah, terlebih di kondisi darurat corona seperti saat ini.
Jika qunut dilakukan dalam sholat munfarid, tetap disunahkan mengeraskan suara.
(http://www.feqhweb.com/vb/showthread.php?t=12719&p=88844#post88844)

Wallahua’lam bis showab.

******

Read more https://konsultasisyariah.com/36273-qunut-nazilah-untuk-cegah-corona.html

Jumat, 01 Mei 2020

MUROTTAL AL QUR'AN 30 JUZ SHEIKH MAHIR AL-MU'AIQLY




Mahir al-Mu'aiqly

Deskripsi

Maher bin Hamad Al Mu'aiqly lahir pada tanggal 7 Januari 1969, adalah seorang imam Masjid besar kota suci Mekkah, yakni Masjidil Haram. Keluarga Maher berasal dari kota Yanbu, Arab Saudi, ia diberi nama Al-Mua'iqly karena ayahnya berasal dari kafilah Balwa. Wikipedia
Lahir7 Januari 1969 (usia 51 tahun), Madinah, Arab Saudi
Nama lengkapMaher Ibn Hamd Ibn Mueaql Al Mueaqly Al Baloui
SilsilahMahir Bin Hammad Al-Mansoor
GelarSyaikh, Imam

Kamis, 30 April 2020

Fatwa Muhammadiyah Jika Wabah Corona Terjadi Selama Ramadhan



Muhammadiyah mengeluarkan maklumat menyikapi wabah corona.

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyempurnakan maklumat mengenai tuntunan ibadah bagi umat Muslim dalam menghadapi wabah corona/Covid-19. Adapun surat maklumat yang dimaksud bernomor 02/MLM/I.0/H/2020 tentang wabah covid-19 dan surat bernomor 03/I.0/B/2020 tentang penyelenggaraan shalat Jumat dan fardhu berjamaah saat Covid-19 melanda.

Dalam rangka melaksanakan hal itu, berdasarkan rilis yang diterima Republika, Kamis (26/3), Muhammadiyah menetapkan sejumlah keputusan yang diambil dengan berpedoman kepada nilai-nilai dasar ajaran Islam dan beberapa prinsip yang diturunkan dari sana. Dengan mempertimbangkan dalil-dalil dari Alquran dan hadis yang dipahami sesuai dengan manhaj tarjih serta data-data ilmiah dari para ahli yang menunjukkan bahwa kondisi ini telah sampai pada status darurat, rapat bersama di lingkup Muhammadiyah menetapkan beberapa keputusan sebagai berikut.

Apabila kondisi mewabahnya Covid-19 hingga bulan Ramadhan dan Syawal mendatang tidak mengalami penurunan, terdapat beberapa tuntunan berikut yang perlu diperhatikan.

a. Shalat Tarawih dilakukan di rumah masing-masing. Takmir tidak perlu mengadakan shalat berjamaah di masjid, mushala, dan sejenisnya, termasuk kegiatan Ramadhan yang lain seperti ceramah-ceramah, tadarus berjamaah, iktikaf, dan kegiatan berjamaah lainnya. 

b. Puasa Ramadan tetap dilakukan kecuali bagi orang yang sakit dan yang kondisi kekebalan tubuhnya tidak baik. Orang tersebut wajib menggantinya sesuai dengan tuntunan syariat.

c. Untuk menjaga kekebalan tubuh, puasa Ramadhan dapat ditinggalkan oleh tenaga kesehatan yang sedang bertugas. Tenaga kesehatan dapat menggantinya sesuai dengan tuntunan syariat.

d. Shalat Idul Fitri adalah sunah muakadah dan merupakan syiar agama yang amat penting. Namun, apabila pada awal Syawal 1441 H mendatang tersebarnya Covid-19 belum mereda, shalat Idul Fitri dan seluruh rangkaiannya (mudik, pawai takbir, halal bihalal, dan lain sebagainya) tidak perlu diselenggarakan.

Namun, apabila berdasarkan ketentuan pihak berwenang bahwa Covid-19 sudah mereda dan dapat dilakukan konsentrasi banyak orang, shalat Idul Fitri dan rangkaiannya dapat dilaksanakan dengan tetap memperhatikan petunjuk dan ketentuan yang dikeluarkan pihak berwenang mengenai hal itu. Adapun kumandang takbir Idul Fitri dapat dilakukan di rumah masing-masing selama darurat Covid-19.

Memperbanyak zakat, infak, dan sedekah, serta memaksimalkan penyalurannya untuk pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19.

Menggalakkan sikap berbuat baik (ihsan) dan saling menolong (taawun) di antara masyarakat, terutama kepada kelompok rentan, misalnya berbagi masker, hand sanitizer, atau mencukupi kebutuhan pokok dari keluarga yang terdampak secara langsung, serta tidak melakukan panic buying (pembelian barang karena panik/penimbunan barang berdasarkan rasa takut).

(republika.co.id)

Soal-Jawab Seputar Puasa Ramadhan



RISALAH RAMADHAN Beberapa Cuplikan Dari Kumpulan 44 Fatwa Muqbil bin Hadi al-Wadi’i

Yang harus dilakukan saat sahur ketika terdengar adzan Subuh

Soal 1 : Apabila seseorang sedang makan sahur kemudian muadzin mengumandangkan adzan apakah wajib baginya untuk membuang/ mengeluarkan apa-apa yang ada di mulutnya

ataukah memakannya ?

Jawab : Adapun yang ada di mulutnya maka tidak boleh untuk mengeluarkannya akan tetapi tidak boleh memakan sesuatu apapun setelahnya kecuali air berdasarkan hadits sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah  bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

“Apabila muadzin telah mengumandangkan adzan, sedangkan bejana masih dalam tangan seseorang, maka hendaklah dia mengambil keperluan darinya.”

Maka dengan hadits ini tidak mengapa seseorang untuk meminum apabila telah dikumandangkan adzan oleh muadzin dengan syarat air tersebut masih dipegang oleh tangannya.

Berbuka karena sakit bertahun-tahun

Soal 2: Apa hukumnya orang yang berbuka disebabkan karena sakit yang terus menerus sampai beberapa tahun ?

Jawab: Apabila ditetapkan oleh medis bahwasa-nya dia tidak diharapkan lagi kesembuhan-nya sedangkan Allah Maha Penyembuh dan berapa banyak orang yang sakit yang telah ditetapkan oleh para dokter bahwasanya tidak diharapkan lagi kesembuhannya kemudian Allah Ta’ala menyembuhkannya. Apabila mereka menetapkan tidak diharap-kan sebaikannya, maka tidak mengapa dia berbuka dan memberikan makanan setiap harinya kepada orang miskin. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

{وَعَلَىالَّذِیْنَ یُطِیْقُوْ نَهُ فِدْیَةٌ طَعَامُ مِسْكِیْنَ}

Dan bagi orang-orang yang tidak mampu hendaknya membayar fidyah dengan memberikan makanan kepada orang miskin.”

Demikian pula Anas bin Malik  ketika beliau tidak mampu untuk melaksanakan shaum maka beliau memberikan makanan setiap harinya kepada orang miskin.

Memakai siwak dan sikat gigi/pasta gigi

Soal 3: Apa hukumnya menggunakan hal-hal di bawah ini di siang hari di bulan Ramadhan, diantaranya memakai siwak dan sikat gigi/odol ?

Jawab: Adapun memakai siwak dari batangnya maka ini tidak mengapa, walaupun warna-nya hijau. Adapun odol atau sikat gigi maka kami menasehatkan untuk meninggalkannya di bulan Ramadhan. Dan kami tidak memiliki dalil bahwa itu akan membatalkan shaum, akan tetapi wajib untuk berhati-hati sehingga tidak sampai mengalir atau masuk sesuatau ke dalam perutnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

وبالِغُ فَي الأِستِنشاقإِلاَّ َأنْ تكُونَ صائِما

Dan sempurnakanlah pada waktu istinsyaq kecuali dalam keadaan shaum.”

Karena sesungguhnya apabila dia dalam keadaan shaum maka ditakutkan akan mengalir atau masuk airnya ke dalam perutnya.

Orang pingsan dan muntah

Soal 4:  Demikian pula apa hukumnya orang yang pingsan dan yang muntah ?

Jawab: Adapun orang yang pingsan maka dia tidak dikategorikan membatalkan shaumnya demikian

halnya dengan orang yang muntah. Adapun hadits yang menyatakan,

من قَاءَ فَلاَ قَضاءَ علَيهِ ومن اِستقَاءَ فَعلَيهِ ْالقَضاءَ

“Barangsiapa yang muntah maka tidak ada qadha baginya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka hendaknya ia menqadha.” Ini adalah hadits yang lemah.

Mencicipi masakan

Soal 5:  Apa hukumnya seorang perempuan merasakan masakannya ketika ia memasak makanan dengan ujung lidahnya supaya mengetahui apa yang kurang dari bumbu-bumbu masakan tersebut ?

Jawab: Tidak mengapa tentang hal itu, insya Allah. Dan jangan sampai ada yang masuk ke tenggorokannya sesuatu apapun.

Menggunakan peralatan oksigen bagi seseorang yang menderita penyakit sesak nafas

Soal 6: Apa pula hukum menggunakan peralatan oksigen bagi seseorang yang menderita penyakit sesak nafas ?

Jawab: Yang jelas ia bukanlah termasuk makanan atau minuman. Maka aku tidak melihatnya hal ini membatalkan shaum.

Waktu, tempat, dan raka’at sholat tarawih sesuai sunnah

Soal 7: Di tempat kami sangat banyak sekali masjid, sebagiannya melaksanakan shalat dengan 8 rakaat dan sebagiannya 20 rakaat, sebagiannya lagi memanjangkan shalatnya dan sebagian lagi memendekkan. Maka masjid manakah yang benar yang sesuai dengan perbuatan Nabi ?

Jawab : Jika kalian mampu maka hendaknya kalian melaksanakan shalat di masjid pada pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir dengan sebelas raka’at atau tiga belas raka’at sebagaimana dalam hadits Aisyah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak menambah raka’at pada bulan Ramadhan atau selainnya dari sebelas raka’at. Dan telah datang pula riwayat yang mengatakan tiga belas raka’at. Dan saya nasehatkan untuk mengakhirkan shalat tarawih pada pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir. Karena sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

”Barangsiapa yang takut akan tertidur padaakhir malam maka hendaknya dia witir pada awalnya, dan barangsiapa yang menginginkan untuk bangun di akhir malam maka hendaknya witir pada akhirnya karena sesungguhnya shalat pada akhir malam adalah disaksikan.” (HR.Muslim)

Dan ketika Umar  keluar, beliau mendapati Ubay bin Ka’ab  sedang melaksanakan shalat bersama mereka (orang-orang). Kemudian ia berkata,

“Alangkah nikmatnya satu hal yang baru ini dan orang-orang yang tertidur darinya juga tidak mengapa.”

Maka apabila mereka mampu untuk pergi ke masjid kemudian menegakkan sunnah di sana (di dalamnya) dan melaksanakan shalat pada pertengahan malam atau setelahnya dengan sebelas raka’at dan mereka memanjangkannya sesuai dengan kemampuannya. Karena sesungguhnya shalat malam adalah nafilah dan bukan termasuk ke dalam shalat yang fardhu.

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

“Sesungguhnya aku akan masuk (atau barumulai) dalam shalat maka aku menginginkan untuk memanjangkannya akan tetapi aku tidak meneruskannya karena/ketika aku mendengar suara tangisan seorang bayi karena kasihan pada ibunya.”

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan kepada Muadz bin Jabal , “Apakah engkau telah membuat fitnah, wahai Muadz?” Yaitu disebabkan karena beliau memanjangkannya di dalam shalat. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan juga,

إِذَاصلَّىأَحدكُم لِنفْسِهِ فَلْي َ طولْ ماشاءَ وإِذَا صلَّى

بِالناسِ فَلْيخفِّف َفإِنَّ فِيهِم الضعِيف والمَرِيض وذَا

ْالحَاجةَ

“Apabila salah seorang di antara kalian shalat sendiri, maka hendaknya memanjangkan sekehendaknya dan apabila ia shalat bersama orang orang atau bersama manusia maka hendaklah ia meringankannya karena di antara mereka ada yang lemah, ada yang sakit dan ada yang memiliki kebutuhan.”

Maka ini semua adalah di dalam shalat yang fardhu, adapun di dalam shalat nafilah maka tidak wajib, bahkan seseorang boleh melaksanakan shalat sekehendaknya dan boleh bagi dia untuk beristirahat dari satu raka’at menuju kepada rakaat yang lainnya atau dia pergi dulu ke rumahnya. Dan jika dia mampu untuk melaksanakan shalat di rumahnya, maka ini juga afdhal. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda ketika beliau shalat bersama manusia atau orang-orang dua malam atau tiga malam di bulan Ramadhan, beliau mengatakan,

”Shalat yang paling afdhal bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat yang wajib atau fardhu.”

Bahwa yang paling afdhal shalat bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat yang wajib. Walaupun sebagian orang mengatakan bahwa engkau telah menepati sunnah yang muakkadah dikarenakan menyelisihi syi’ah, karena sesungguhnya mereka melihat bahwa shalat tarawih itu adalah bid’ah. Maka kita tidak menyepakati mereka akan tetapi kita menginginkan untuk menyepakati atau sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan apabila ditakutkan tertidur ataupun disibukkan di dalam rumahnya dari anak-anaknya atau yang lainnya maka kami nasehatkan untuk keluar menuju ke masjid.

Sholat di belakang imam tarawih 20 raka’at

Soal ke-8: Apabila aku shalat di masjid kemudian imam di dalamnya shalat dengan dua puluh rakaat maka apakah aku ikut menyempurnakan bersamanya dalam rangka mengikuti imam ataukah aku shalat delapan raka’at lalu aku witir sendirian kemudian keluar ?

Jawab : Saya nasehatkan hendaknya engkau shalat delapan raka’at saja dan kemudian engkau shalat witir sendirian. Maka sesungguhnya mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah lebih utama, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan,

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan sholat.”

Bolehkah sholat tarawih di rumah

Soal ke-9: Apakah dibolehkan bagi seseorang untuk melaksanakan shalat bersama keluarganya di rumah, yaitu shalat tarawih ?

Jawab : Tidak mengapa akan hal itu dan hal itu adalah afdhal sebagaimana yang telah lewat.

Mematikan lampu pada waktu shalat supaya menambah kekhusyu’an

Soal ke-10 : Mematikan lampu pada waktu shalat supaya menambah kekhusyuan sebagaimana yang terjadi pada diri kami dalam bulan Ramadhan. Maka apa pendapatmu tentang hal ini dan apakah hal ini sampai kepada perkara yang bid’ah ?

Jawab : Tidak, hal ini tidak sampai kepada batasan bid’ah dan bukan pula merupakan suatu yang sunnah. Maka apabila seseorang merasa menambah kekhusyu’an apabila ia memejamkan kedua matanya dan memati-kan lampu, bahkan akan menjadikannya lebih jauh dari sifat riya’ maka hal ini tidak mengapa. Walaupun memang bahwasanya manusia berbeda dalam hal ini, maka tidak sepatutnya untuk mewajibkan atau menarik/ menekan seseorang kepada pendapat-nya dan mematikan lampu. Sebagian orang tidak menyukai akan hal itu.

Lansia yang sudah pikun, bagaimana tentang shoumnya

Soal ke-11 : Seorang perempuan yang sudah lanjut usianya dan sudah berubah akalnya dengan sebagian perubahan-perubahan, kemudian ia meninggal dan ia punya hutang shaum dua kali bulan Ramadhan, sedangkan ia tidak mengetahui Ramadhan dari selainnya disebabkan karena terjadi hilang ingatan/akalnya (atau terjadi perubahan akalnya). Apakah bagi anaknya untuk memberikan makanan untuk menggantikan shaumnya ataukah ia mesti shaum ?

Jawab : Keadaan dia adalah termasuk orang-orang yang diangkat atau diberikan rukhshah

kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

رفَع ْالقَلَم عن َثلاََثةٍ عنِ ْالمَجنونِ حتى يفِيق وعنِ الصغِيرِ حتى يبلُغَ و عنِ النائِمِ حتى يستيقِظَ

“Diangkat pena dari tiga orang, dari orang yang gila sehingga ia sadar, dari anak kecil sehingga di baligh dan dari orang yang tertidur sehingga ia bangun kembali.”

Maka tidak ada keharusan apa-apa untuknya.



Rabu, 29 April 2020

Bolehkah Petugas Medis Covid19 yang Memakai APD Tidak Berpuasa Ramadhan?



Di masa pandemi corona atau COVID 19 ini tentu peran para petugas medis menjadi sangat vital sebagai garda depan dalam pananggulangan wabah ini. Lalu di bulan Ramadhan ini apakah mereka para petugas medis COVID 19  yang memakai Alat Perlindungan Diri (APD) boleh tidak berpuasa Ramdahan,?

Jawabnya: Ia boleh tidak berpuasa Ramadhan setelah mencoba berpuasa dahulu. Apabila tidak sanggup melanjutkan puasa karena merasakan sangat haus dan lelah setelah memakai APD (alat pelindung diri), sedangkan pada hari itu masih tersisa beberapa jam lagi waktu berbuka puasa dan ia berprasangka kuat khawatir kondisi kesehatan akan menurun, maka ia boleh berbuka puasa (membatalkan puasa) pada hari  itu kemudian mengqadha pada hari yang lain. Hal ini berbeda-beda setiap orang ada yang kuat ada yang tidak kuat, apabila tidak kuat, ia boleh berbuka puasa.

Berikut Pembahasannya

Sebelumnya perlu kami jelaskan bahwa dalam menjelaskan suatu hukum, perlu “tashawwur” atau gambaran kasus yang benar. Apabila “tashawwur” atau gambaran kasusnya yang didapat oleh ustadz atau ulama itu tidak tepat, maka penjelasan hukum (fatwanya) juga tidak tepat. Sebagaimana dalam kaidah fikh,

الْحُكْمَ عَلَى الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

Artinya: “Fatwa mengenai hukum tertentu merupakan bagian dari pemahaman orang yang memberi fatwa (terhadap pertanyaan yang disampaikan).”

Misalnya ada pertanyaan: “Ustadz Bagaimana hukum KB (Keluarga berencana) yang diperintahkan membatasi kelahiran?

Tentu sang ustadz akan menjawab: “Hukumnya haram, karena bertentangan dengan anjuran Islam memperbanyak keturunan, tentu dengan memperhatikan nafkah dan pendidikan anak”

Akhirnya menyebarlah fatwa “Hukum KB adalah haram secara mutlak”, padahal gambaran kasus (tashawwur) KB tidaklah demkian. Hukum KB ini dirinci berdasarkan tujuan:

Tahdidun nasl [تحديد النسل] yaitu membatasi kelahiran, ini hukumnya haram
tandzimun nasl  [تنظيم النسل] yaitu mengatur jarak kelahiran, ini hukum boleh bahkan pada beberapa kasus dianjurkan

Demikian juga dengan fatwa mengenai “Shalat berjamaah dan shalat Jumat di masjid ketika musim wabah”. Ustadz atau ulama harus mendapatkan gambaran kasus (tashawwur) yang tepat dari ahli medis sebelum memberikan penjelasan hukumnya.

Gambaran Kasus saat Memakai APD

Kembali lagi ke hukum tenaga medis covid19 yang memakai APD, gambaran kasusnya perlu dijelaskan. Saya pribadi merasakan memakai APD karena spesialisasi saya adalah Patologi Klinik dan bekerja di laboratorium yang memeriksa sampel covid19. Gambaran kasus memakai APD:

1.APD dipakai sekali saja, ketika dipakai tidak boleh dilepas karena keterbatasan APD
2.Memakai APD bisa jadi 8 jam atau 12 jam sesuai shifnya, di lab bisa 4 jam saja apabila sampel sedikit
3.Selama memakai APD sulit untuk minum dan buang air kecil, sehingga menjadi “serba salah”, jika minum banyak khawatir nanti akan buang air. Jika minum sedikit nanti mudah haus
4.Selama memakai APD akan keluar keringat cukup banyak (elektrolit keluar banyak), terlebih ruangan tidak begitu dingin, kacamata bisa berembun sehingga penglihatan sulit dan itu tidak boleh diperbaiki. Demikian juga jika maka terasa gatal, tidak boleh dikucek dan harus ditahan
5.Setelah memakai APD sebagian dari kita akan merasakan sangat haus, lapar dan lelah
Apabila kita membahas hukumnya. Ini kembali pada pembahasan “hukum tidak berpuasa Ramadhan karena pekerjaan”

Jawabanya secara umum: hukum asalnya TIDAK BOLEH meninggalkan puasa Ramadhan karena alasan pekerjaan, karena ini rukun Islam.

Saya mendengar fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan (kurang lebih):

لم يرد في التاريخ أن السلف ترك الصيام لأجل عمل

“Tidak ada dalam sejarah Islam bahwa salaf dahulu meninggalkan puasa (Ramadhan karena alasan pekerjaan)

Berikut fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, yang menjelaskan orang yang bekerja sebagai pembakar roti dan merasakan haus sekali, ia tetap harus berpuasa.

Pertanyaan:

عن رجل يعمل في مخبز ويواجه عطشاً شديداً وإرهاقاً في العمل هل يجوز له الفطر

“Pertanyaan dari seorang yang bekerja sebagai pembakar roti, ia merasakan sangat haus dan lelah ketika bekerja, apakah ia boleh tidak berpuasa Ramadhan?

Jawaban:

لا يجوز لذلك الرجل أن يفطر ، بل الواجب عليه الصيام ، وكونه يخبز في نهار رمضان ليس عذراً للفطر ، وعليه أن يعمل حسب استطاعته

Tidak boleh bagi orang tersebut berbuka puasa (tidak berpuasa), bahkan wajib baginya berpuasa. Adapun keadaan ia sebagai pembakar roti pada siang Ramadhan bukanlah udzur syar’i . ia wajib bekerja sesuai kemampuannya.” [Fatwa Al-Lajnah 10/238]

Perhatikan bahwa pembuat roti ini bisa mengatur pekerjaannya, ia bisa bekerja siang hari hanya beberapa jam (tidak full) atau memindahkan pekerjaannya pada malam hari. Gambaran kasus ini berbeda dengan petugas medis covid19 yang memakai APD, mereka tidak bisa mengatur jam kerja karena tugasnya adalah 24 jam dan masing-masing akan mendapatkan shif siang hari.

Alasan “khawatir” yang nyata dan kuat adalah alasan yang boleh (udzur syar’i) untuk tidak berpuasa Ramadhan. Petugas medis covid19 memang ada yang khawatir (berprasangka kuat) kondisi kesehatannya akan menurun apabila melanjutkan puasa. Ini adalah alasan dengan kekhawatiran yang nyata dan bukan dibuat-buat.

Salah satu dalil yang boleh tidak berpuasa Ramadhan karena khawatir adalah ibu hamil yang khawatir akan janinnya apabila ia berpuasa. Sang ibu tidak mengkhwatirkan dirinya, tetapi mengkhwatirkan janinnya, padahal di zaman dahulu belum ada alat untuk mengetahui kondisi janin seperti sekarang. Jadi sang ibu hanya mengandalkan “feeling” dan perasaan bahwa apabila ia berpuasa, maka janinnya akan bahaya.

Dalil akan hal ini, hadits berikut:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengugurkan kewajiban bagi musafir untuk berpuasa dan setengah shalat; dan menggugurkan pula kewajiban puasa bagi wanita hamil atau menyusui”. [HR. Tirmidzi]

Imam Asy-Syafi’i menjelaskan,

والحامل إذا خافت على ولدها: أفطرت، وكذلك المرضع إذا أضر بلبنها

“Ibu yang hamil apabila khawatir akan janinnya, ia boleh tidak berpuasa (Ramadhan), demikian juga dengan ibu menyusui apabila khawatir akan membahayakan air susunya.” [Al-Umm 2/113]

Kesimpulan

Petugas medis covid19 yang memakai APD boleh tidak berpuasa Ramadhan apabila berprasangka kuat khawatir kondisi tubuhnya menurun, lalu mengqadhanya. Hal ini berbeda-beda setiap orang, ada yang kuat menahan dan melanjutkan pausa Ramadhan dan ada yang tidak kuat

artikel www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56234-petugas-medis-covid19-puasa-ramadhan.html