Pertanyaan:
Bagaimana menjawab pertanyaan seseorang yang berkata: “Anda mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam akhir. Berarti ketika itu Allah meninggalkan Arsy? Selain itu sepertiga malam akhir itu tidak sama waktunya di semua belahan bumi”
Bagaimana menjawab pertanyaan seseorang yang berkata: “Anda mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam akhir. Berarti ketika itu Allah meninggalkan Arsy? Selain itu sepertiga malam akhir itu tidak sama waktunya di semua belahan bumi”
Syaikh Abdul Aziz Bin
Baz rahimahullah menjawab:
Yang mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam akhir itu adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabda beliau:
Yang mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam akhir itu adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabda beliau:
“Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke
langit dunia setiap sepertiga malam akhir. Ia lalu berkata: ‘Barangsiapa yang
berdoa, akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Siapa
yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni. Hingga terbit fajar‘ ” (HR.
Bukhari 1145, Muslim 758)
Hadits ini disepakati
keshahihannya. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud nuzul (turun)
di sini adalah sifat nuzulyang layak bagi Allah bukan sebagaimana
kita turun. Tidak ada yang mengetahui bagaimana bentuk turunnya kecuali Allah.
Allah Ta’ala turun ketika Ia menginginkannya, dan ini tidak
berarti ketika itu Arsy kosong, karena sifat nuzul di sini
adalah nuzul yang layak bagi Allah Jalla Jalaluhu.
Juga
masalah sepertiga malam akhir itu tidak sama waktunya di semua belahan
bumi, nuzul Allah itu khusus bagi Allah tidak serupa dengan
makhluk-Nya sedikitpun, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)
Allah Jalla
Jalaluhu juga berfirman:
“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan
mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat
meliputi ilmu-Nya” (QS. Thaha: 110)
Allah Azza Wa
Jalla juga berfirman dalam ayat kursi:
“Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu
Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al Baqarah: 255)
Ayat-ayat yang semakna
dengan ini banyak sekali. Hanya Allah yang tahu bagaimana bentuk nuzul-Nya.
Yang wajib bagi kita adalah menetapkan sifat nuzul bagi Allah sesuai apa yang
layak bagi-Nya, dalam keadaan Ia berada di atas Arsy. Karena yang
dimaksud nuzul di sini adalah sifat nuzul yang
layak bagi Allah bukan sebagaimana kita turun. Yaitu jika seseorang turun dari
suatu tempat yang tinggi, maka tempat tersebut akan kosong. Atau jika seseorang
turun dari mobil maka mobil tersebut akan kosong. Ini adalah qiyas (analogi)
yang rusak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak boleh dianalogikan
dengan makhluk-Nya. Dan tidak menyerupai sifat makhluk-Nya sedikitpun.
Sebagaimana juga kita mengatakan, Allah
beristiwa di atas Arsy sesuai sifat istiwa yang layak bagi-Nya dan kita tidak
tahu bagaimana bentuk istiwa tersebut. Janganlah kita menyerupakan atau
memisalkan istiwa Allah tersebut dengan istiwa makhluk. Yang benar, kita
katakan bahwa Allah beristiwa di atas Arsy sesuai sifat istiwa yang layak
bagi-Nya dan keagungan-Nya.
Ketika orang-orang
berbicara mengenai hal ini tanpa hak (ilmu), mereka jadi sangat bingung. Bahkan
terkadang mereka cenderung mengingkari sifat Allah seluruhnya. Sampai-sampai
ada yang berkata: “Allah itu tidak di dalam alam semesta dan tidak di luar alam
semesta, tidak begini dan tidak begitu”. Sampai mereka mensifati Allah dengan
sifat-sifat yang maknanya ketidak-adaan dan hingga mengingkari keberadaan
Allah. Oleh karena itu para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan
juga Ahlus Sunnah Wal Jama’ahyang mengikuti mereka, menetapkan
sifat-sifat Allah sesuai nash-nash Al Kitab dan As Sunnah. Mereka berkata,
tidak ada yang mengetahui kaifiyah (deskripsi) dari
sifat-sifat Allah kecuali Allah Ta’ala. Oleh karena itu Imam Malik rahimahullah
berkata:
“Istiwa itu maknanya sudah
dipahami orang-orang. Adapun kaifiyah-nya tidak ada yang
mengetahui. Mengimaninya wajib dan bertanya tentangnya itu bid’ah”
yang beliau maksud
adalah bertanya tentang kaifiyah-nya. Semisal itu juga, apa yang
diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiallahu’anha dan juga dari Rabi’ah bin Abi
Abdirrahman (guru Imam Malik), mereka berkata:
“Istiwa itu maknanya sudah
dipahami orang-orang. Adapun kaifiyah-nya tidak bisa dibayangkan.
Mengimaninya wajib”
Barangsiapa yang berpegang pada kaidah
ini, ia akan selamat dari berbagai syubhat yang banyak dan juga dari
keyakinan-keyakinan Ahlul Batil. Cukup bagi kita menetapkan apa yang datang
dari nash-nash Qur’an dan Sunnah, tanpa menambah-nambah.
Maka kita katakan,
Allah itu memiliki sifat mendengar, berfirman, melihat, marah, ridha sesuai
dengan sifat yang layak bagi-Nya dan tidak ada yang mengetahui kaifiyah-Nya
kecuali Allah. Inilah jalan yang selamat, jalan ilmu, yaitu madzhab salafus
shalih. Ia adalah madzhab yang a’lam, aslam wa ahkam. Dengan jalan
ini, seorang mukmin selamat dari syubhat, penyimpangan, dengan perpegang pada
Qur’an dan Sunnah, dan menyerahkan kaifiyah sifat kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu Waliyut Taufiq.
(kangaswad.wordpress.com)
0 komentar:
Posting Komentar