Dari Mahmud bin Labid bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya sesuatu yang paling
menakutkan yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Mereka
bertanya, “Apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’, Allah azza wa jalla akan berfirman kepada
mereka pada hari kiamat pada saat manusia dibalas karena perbuatan
mereka,’Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian berbuat
riya’ kepadanya ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian mendapatkan
balasan di sisi mereka?’”
1.
Riya dalam iman,
dan inilah keadaan orang-orang munafik.
و إذا لقوا الذين ءامنوا قالوا
آمنا
“Dan bila mereka
berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah
beriman’.” (QS. Al-Baqarah: 14).
Dan akibatnya adalah neraka.
2.
Riya’ dengan
(ibadah) wajib atau sunnah, maka dia menampakkannya ketika
ia sendiri.
3.
Riya’ dengan
bentuk ibadah, seperti membaguskannya dan memperhatikan bentuk
dhahirnya saja
4.
Riya’ dengan
ucapan, dan ini khusus bagi para pemberi nasihat, maka dia
menghafal agar dia pandai berbicara, berdebat, dan berdiskusi atau untuk memuji
dirinya sendiri dan mempersiapkan proyek-proyeknya.
5.
Riya’ dengan
keadaan orang yang berbuat riya’, seperti
(menampakkan) kurus dan pucatnya badan, agar disangka bersungguh-sungguh dalam
beribadah, dan juga seperti menampakkan suara yang lemah dan keringnya bibir
agar disangka berpuasa. Ini adalah masalah yang besar dan samudra yang
bergelombang, termasuk ke dalamnya riya’ dengan pakaian, cara berjalan dan
kewibawaan.
6.
Riya’ dengan
(akibat) yang terjadi setelah perbuatan, seperti orang
yang menyukai agar diberi ucapan salam terlebih dulu, diberi sambutan dengan
wajah yang ceria, dicukupi keperluan-keperluannya dan diberi kelapangan dalam
majelis.
7.
Riya’ dengan
mencela diri, Mutharrif berkata, “Cukuplah seseorang dianggap
sebagai ithara’
(melampaui batas dalam memuji), jika dia mencela dirinya di hadapan orang-orang
seolah-olah engkau ingin memujinya dengan celaan tersebut, dan hal ini buruk
menurutku.”
8.
Mengharapkan dunia
dengan mengikhlaskan amal. Syaikhul Islam berkata,
“Seperti orang yang tujuannya adalah pengagungan dan pujian dari manusia
–misalnya-, dan dia mengetahui bahwasanya hal itu bisa didapat dengan ikhlas,
maka dia di sini tidak mengaharapkan Allah, akan tetapi dia menjadikan Allah
sebagai perantara (untuk mewujudkan) keinginannya yang rendah itu.”
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hal ini karena terkadang
tujuan manusia itu adalah mendapatkan ilmu dan hikmah, atau mendapatkan mukasyafah dan ta’tsirat, atau mendapatkan
penghormatan dan pujian dari manusia, atau tujuan-tujuan lainnya, dan dia
mengetahui bahwasanya hal itu bisa didapatkan dengan ikhlas dan mengharap
wajah-Nya, maka jika dia bertujuan untuk mendapatkan hal tersebut dengan ikhlas
kepada Allah dan mengarapkan Wajah-Nya, maka ini saling bertentangan; karena
orang yang menginginkan sesuatu karena sesuatu yang lain, maka yang kedua
itulah yang dituju secara dzatnya, sedangkan yang pertama digunakan karena ia
adalah perantara kepadanya, maka jika dia ikhlas kepada Allah, dengan tujuan
agar menjadi seorang alim, orang pintar, orang yang memiliki hikmah, mukasyafah, tasharrufat,
dan yang semisalnya, maka dia berarti tidak menginginkan Allah, akan tetapi dia
menjadikan Allah sebagai perantara untuk mendapatkan tujuannya yang rendah
tersebut.” (Dar’u Ta’arudh
an-Naql wa al-Aql, 6/66-67).
Oleh karena itu, asy-Syathibi rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya pelaku sebab mengetahui bahwasanya akibat itu tidak dinisbatkan
kepadanya (tetapi dinisbatkan kepada Allah). Apabila dia menyerahkannya kepada
Allah subhaanahu wa
ta’ala dan dia memalingkan pandangannya dari akibat, maka dia
lebih dekat kepada ikhlas. Maka seorang mukallaf,
apabila melaksanakan perintah dan larangan dengan sebab tanpa memikirkan hal
lain selain perintah dan larangan tersebut, maka berarti dia telah keluar dari
bagian (dunia)nya, melaksanakan hak-hak Rabb-nya, dan melaksanakan tugas ‘ubudiyyah. Berbeda halnya
apabila pelaku melihat dan memperhatikan akibat, maka sesungguhnya ketika dia
berpaling kepadanya, berarti dia menghadap setengahnya saja, sehingga
menghadapnya dia kepada Rabb-nya dengan melakukan sebab adalah dikarenakan
menghadapnya dia kepada akibat, dan tidak diragukan lagi perbedaan antara dua
tingkatan ini dalam masalah ikhlas.” (Al-Muwafaqat,
1/219-220).
Dan setelah asy-Syatibi menceritakan riwayat,
من أخلص لله أربعين يوما..
Beliau rahimahullah berkata,
“ini sering terjadi dikarenakan seseorang memperhatikan akibat (hasil) dari
sebab-sebab tersebut, dan bisa jadi perhatiannya (terhadap akibat ini)
menutupi, sehingga akan menghalangi antara pelaku sebab dan perhatiannya kepada
sebab. Dan dengan hal tersebut, seorang ahli ibadah akan memperbanyak
ibadahnya, dan seorang alim tertipu dengan ilmunya, dan lain sebagainya.” (Al-Muwafawat, 1/220).
9.
Meninggalkan amal karena takut riya’. Al-Fudhail bin
Iyadh berkata, “Beramal untuk manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena
manusia adalah riya’ , dan ikhlas itu adalah disucikannya dirimu oleh Allah
dari keduanya.”
Syaikhul Islam sangat keras sekali terhadap
orang-orang yang melarang untuk melakukan amal yang disyariatkan karena takut
riya’, dan beliau menjelaskan bahwasanya ini adalah termasuk di antara
tanda-tanda orang-orang munafik yang senantiasai mencela kaum mukminin yang
taat beribadah.
Disadur ulang dari Min Rawaai’il Mukhlishiin (edisi
terjemah), Dr. Ubaid bin Salim al-Amri
https://muslimah.or.id/9937-jenis-jenis-riya-rincian-dan-macam-macam-pelakunya.html
0 komentar:
Posting Komentar