Pertanyaan:
Mohon
dijelaskan macam macam Puasa Sunnah ?
Jawaban:
Sungguh,
puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan
dalam hadits berikut, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia
akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus
kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa.
Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.
Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang
yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia
berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang
yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR.
Muslim no. 1151).
Adapun
puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib.
Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali
Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun).[1] Lewat amalan sunnah
inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits qudsi, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan
amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya,
maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk
mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat,
memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi
petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu
kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku
akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
Pada
kesempatan kali ini, Buletin At Tauhid mencoba mengangkat pembahasan puasa
sunnah yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga bermanfaat.
Puasa Senin Kamis
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallambersabda, “Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari
Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang
berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An
Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)
Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan
berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja. Mu’adzah bertanya pada
‘Aisyah, “Apakah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.”
Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?”
‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya
semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun,
hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan
Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.[2] Dari Ibnu ‘Abbasradhiyallahu
‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian
maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan). Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda padanya, “Jika engkau ingin berpuasa tiga hari
setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan
Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
Puasa Daud
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah
puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah
adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa
tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya.
Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan
Muslim no. 1159)
Cara
melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Syaikh Muhammad
bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud
sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika
melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya
meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa
ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping
puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan
puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak
puasa. … Wallahul Muwaffiq.”[3]
Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa
berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR.
Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156). Yang dimaksud di sini adalah berpuasa
pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya[4]) sebagaimana diterangkan oleh
Az Zain ibnul Munir.[5] Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain
di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[6]
Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan
kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun
penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Puasa di Awal Dzulhijah
Dari
Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai
oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10
hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di
jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di
jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun
tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no.
757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal
Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu,
sehingga amalan tersebut bisashalat, sedekah,
membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[7] Di antara amalan yang
dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari
Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari
‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[8], …” (HR. Abu Daud
no. 2437. Shahih).
Puasa ‘Arofah
Puasa
‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy
berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan
puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang
lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan
puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang
lalu” (HR. Muslim no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak
dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika
itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi
no. 750. Hasan shahih).
Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah
(puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalatyang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no.
1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan
penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan
Muharram.”[9]
Keutamaan
puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa
‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa
‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari
sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang
dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu
Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum
muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang
diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila
tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula
pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun
depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu
meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah
Pertama:
Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan
selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa
wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai
makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan
berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata,
“Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah
berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun
berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”
(HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim,
“Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum
waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa
sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua:
Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits
‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin
memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat
dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi
mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk
tetap menyempurnakan puasa tersebut.[10]
Ketiga:
Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali
dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan
suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim
no. 1026)
An
Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam
hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu.
Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram,
sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut
karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap
harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak
bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah
atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[11] Beliaurahimahullah menjelaskan
pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena
ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang
dengannya.”[12]
Semoga
Allah beri taufik untuk beramal sholih. [Sumber: Muhammad Abduh Tuasikal]
_____________
[1]
Lihat Al furqon baina awliyair rohman wa awliyaisy syaithon, Syaikhul IslamIbnu Taimiyah, hal. 51, Maktabah Ar Rusyd,
cetakan kedua, tahun 1424 H.
[2] Hari ini disebut dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14, dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu.
[3] Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 3/470, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1424 H
[4] Karena kadang kata seluruh (kullu) dalam bahasa Arab bermakna mayoritas.
[5] Lihat Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 4/621, Idarotuth Thob’ah Al Muniroh.
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 8/37, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[7] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.
[8] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[9] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/55.
[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
[11] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/115.
[12] Idem.
[2] Hari ini disebut dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14, dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu.
[3] Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 3/470, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1424 H
[4] Karena kadang kata seluruh (kullu) dalam bahasa Arab bermakna mayoritas.
[5] Lihat Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 4/621, Idarotuth Thob’ah Al Muniroh.
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 8/37, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[7] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.
[8] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[9] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/55.
[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
[11] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/115.
[12] Idem.
0 komentar:
Posting Komentar