Faedah Surat Al Mulk, Allah Menguji Manusia Siapakah
yang Baik Amalnya
Allah Ta’ala berfirman,
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya
Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)
Maut adalah Makhluk
Ibnu Katsir mengatakan bahwa dari ayat ini menunjukkan
kalau maut itu adalah sesuatu yang ada dan ia adalah makhluk.[1] Maut adalah
makhluk karena maut itu diciptakan.
Maut diciptakan dalam bentuk domba. Jika ia melewati
sesuatu pasti akan mati. Sedangkan hayat (kehidupan) diciptakan dalam bentuk
kuda. Jika ia melewati sesuatu pasti akan hidup. Inilah pendapat Maqotil dan Al
Kalbiy.[2] Tugas kita
hanyalah mengimani maut dan hayat, walaupun keduanya tidak nampak bagi kita
(perkara ghoib). Seorang mukmin adalah seseorang yang beriman pada
perkara yang ghoib.
“Orang yang bertaqwa adalah yang
mengimani perkara ghoib.” (QS. Al Baqarah: 3)
Mati dan Hidup adalah Kehendak Allah
Ath Thobariy mengatakan bahwa Allah akan mematikan
siapa saja dan apa saja. Begitu pula ia akan memberi kehidupan pada siapa saja
dan apa saja hingga waktu yang ditentukan.[3]
Dunia Hanyalah Kehidupan Sementara Waktu
Dari ‘Atho’, dari Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Kematian
akan ditemui di dunia. Sedangkan kehidupan hakiki adalah di akhirat.” Qotadah
mengatakan, “Allah memang menentukan adanya kematian dan kehidupan di dunia.
Namun Allah menjadikan dunia ini sebagai negeri kehidupan yang pasti akan
binasa. Sedangkan Allah menjadikan negeri akhirat sebagai negeri balasan dan
akan kekal abadi.”[4]
Kenapa Allah Menyebutkan Kematian Lebih
Dahulu Baru Kehidupan?
Ada beberapa alasan yang disebutkan oleh para ulama:
Alasan pertama: Karena kematian itu akan kita temui di
dunia. Sedangkan kehidupan yang hakiki adalah di akhirat. –Lihat perkataan Ibnu
‘Abbas di atas-
Alasan kedua: Segala sesuatu diawali dengan tidak
adanya kehidupan terlebih dahulu seperti nutfah, tanah dan semacamnya. Baru
setelah itu diberi kehidupan.[5]
Alasan ketiga: Penyebutan kematian lebih dulu supaya
mendorong orang untuk segera beramal.
Alasan keempat: Kematian itu masih berupa nuthfah (air
mani), mudh-goh (sekerat daging) dan ‘alaqoh (segumpal darah), sedangkan
kehidupan jika sudah tercipta wujud manusia dan ditiupkan ruh di dalamnya.[6]
“Supaya Allah menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya”
Beberapa tafsiran mengenai “siapakah yang lebih baik
amalnya”:
Pertama: siapakah yang paling baik amalannya di antara
kita dan nanti masing-masing di antara kita akan dibalas.
Kedua: siapakah yang paling banyak mengingat kematian
dan paling takut dengannya.
Ketiga: siapakah yang paling gesit dalam melakukan
ketaatan dan paling waro’ (berhati-hati) dari perkara yang haram. [7]
Keempat: siapakah yang paling ikhlas dan paling benar
amalannya. Amalan tidak akan diterima sampai seseorang itu ikhlas dan benar
dalam beramal. Yang dimaksud ikhlas adalah amalan tersebut dikerjakan hanya
karena Allah. Yang dimaksud benar dalam beramal adalah selalu mengikuti
petunjuk Nabi. Inilah pendapat Fudhail bin ‘Iyadh.
Kelima: siapakah yang lebih zuhud dan lebih menjauhi
kesenangan dunia. Inilah pendapat Al Hasan Al Bashri.[8]
Syarat Diterimanya Ibadah Bukan Hanya Niat
yang Ikhlas
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman
Allah,
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya.”
(QS. Al Mulk: 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan
paling showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Al Fudhail bin ‘Iyadh lalu berkata, “Apabila
amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula,
apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.”[9]
Oleh karena itu, syarat diterimanya ibadah itu ada
dua:
1.
Niat yang ikhlas
2.
Mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka
amalan tersebut tertolak. Semata-mata hanya ikhlas dalam beramal, namun tidak
ada tuntunan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut tertolak.
Misalnya niatnya ikhlas membaca Al Qur’an, namun dikhususkan pada hari ketujuh
kematian orang tuanya, maka amalan ini tertolak karena amalan seperti ini tidak
ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Tidak Menuntut Banyak Kuantitas
Amalan, Namun Kualitasnya
Dalam ayat “supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya”, di situ tidak dikatakan siapakah
yang paling banyak amalannya. Namun dikatakan siapakah yang paling
baik amalannya. Sehingga dituntut dalam beramal adalah kualitas (ikhlas dan sesuai
tuntunan Nabi), bukan kuantitasnya.[10]
Tidak Ada yang Dapat Menghalangi Kehendak
Allah, Namun Dia Maha Pengampun
Dalam penutupan ayat kedua dari surat Al Mulk, Allah
menyebut,
“Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”
Di dalamnya terkandung makna tarhib (ancaman)
dan targhib (motivasi). Maksudnya, Allah melakukan segala
sesuatu yang Dia inginkan dan tidak ada satu pun yang bisa menghalangi-Nya.
Allah akan menyiksa hamba-Nya jika mereka durhaka (enggan taat) pada-Nya dan
tidak ada satu pun yang bisa menghalangi-Nya. Namun Allah Maha Menerima Taubat
jika hamba yang terjerumus dalam maksiat dan dosa bertaubat dengan kesungguhan
pada-Nya.[11] Allah akan mengampuni setiap dosa
walaupun itu setinggi langit dan Dia pun akan menutup setiap ‘aib (kejelekan)
walaupun ‘aib itu sepenuh dunia.[12]
Betapa indahnya, jika terus mendalami
makna Kitabullah.
“Permisalan
orang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah utrujah,
rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an dan
mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma.
Orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan royhanah,
baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca
Al Qur’an bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak
enak.”[13]
Segala puji bagi Allah yang nikmat-Nya
segala kebaikan menjadi sempurna.
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Tafsir Ibnu Katsir, 8/176, Dar Thoyibah, cetakan
kedua, tahun 1420 H.
[3] Jaami’ Al Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ath Thobariy, 23/505, Muassasah Ar Risalah, cetakan
pertama, tahun 1420 H.
[5] Idem
[7] Idem
[9] Jami’ul
Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 20, Darul Muayyad, cetakan pertama,
1424 H
[11] Tafsir Juz Tabaarok, Abu ‘Abdillah Musthofa bin Al ‘Adawiy, hal. 14-15,
Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 1423 H.
[12] Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 875, Muassasah
Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[13] HR.
Bukhari no. 5059, dari Abu Musa Al Asy’ari
Sumber https://rumaysho.com/636-faedah-surat-al-mulk-allah-menguji-manusia-siapakah-yang-baik-amalnya.html
0 komentar:
Posting Komentar