Selasa, 22 Mei 2012

Bagaimana Sikap Kita Jika Terjadi Perbedaan Hari Raya Kaum Muslimin?


[Fatwa- Perbedaan Penentuan Hari Raya Hendaknya Dikembalikan pada Keputusan Pemerintah]
Fatawa no. 388
Pertanyaan:
Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya ataupuasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawaban:
Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini dapat diketahui dengan pasti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbedamatholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan Qiyas. Dan terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (Qs. Al Baqarah [2]: 185)
Begitu juga firman Allah:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (Qs. Al Baqarah [2]: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.”(HR. Bukhari)
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada kelapangan untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut.Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakanshalat ‘ied.
Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’
Anggota: Abdullah bin Mani
Wakil Ketua: Abdullah bin Ghodyan
Ketua: Abdur Rozaq ‘Afifi
Itulah beberapa fatwa mengenai bagaimana sebaiknya kita berhari raya. Kesimpulan dari penjelasan di atas:
1.     Penentuan hari raya bukanlah urusan pribadi atau kelompok, sehingga keputusan mengenai hal ini dikembalikan kepada pemerintah dan jamaah kaum muslimin.
2.     Kita diperintahkan untuk melaksanakan puasa dan hari raya bersama dengan pemerintah dan jamaah kaum muslimin sehingga syi’ar Islam ini tampak dan tidak tampak perpecahan di tengah-tengah umat.
3.     Penentuan hari raya tidaklah tepat menggunakan ilmu hisab karena kita diperintahkan untuk menentukan awal bulan qomariyah dengan ru’yah.
4.     Hendaklah semua orang memahami bahwa masalah penentuan hari raya adalah masalah yang sudah terdapat perselisihan sejak dahulu di kalangan ulama, maka hendaklah perselisihan ini tidak memecah belah kaum muslimin. Hendaklah semuanya memahami bahwa penyatuan kalimat dan barisan adalah prinsip penting dalam agama ini.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id




Bagaimanakah Kedudukan Shadaqah di Bulan Ramadhan?


Pertanyaan:
Bagaimanakah kedudukan shadaqah di bulan Ramadhan?
Jawaban:
Shadaqah di bulan Ramadhan lebih utama dibandingkan di luar Ramadhan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan bulanmuwasah/saling tolong menolong. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat dermawan di bulan Ramadhan, tepatnya ketika malaikat Jibril menemuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan terhadap hartanya daripada angin yang berhembus.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa memberi buka puasa pada orang yang berpuasa maka baginya semisal pahala mereka tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala mereka.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Darimi. Hadits ini dishohihkan oleh Al-Albani)
Hadits ini menunjukkan keutamaan shadaqah di bulan Ramadhan, terlebih lagi bulan Ramadhan adalah bulan puasa. Orang-orang yang kekurangan ditimpa rasa lapar dan haus, namun di tangannya hanya ada sedikit harta. Sehingga ketika ada orang yang mendermakan hartanya kepada mereka pada bulan tersebut, mereka mendapatkan bantuan untuk menaati Allah ta’ala di bulan tersebut.
Ketaatan yang dilakukan pada waktu atau tempat yang memiliki keutamaan menyebabkan amalan tersebut berlipat-lipat. Oleh sebab itu pahala amalan menjadi berlipat-lipat disebabkan kemuliaan suatu waktu sebagaimana juga berlipat-lipat karena kemuliaan suatu tempat. Seperti shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Shalat di masjidil haram senilai dengan 100.000 shalat di masjid lainnya dan shalat di Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah senilai dengan 1000 kali shalat di masjid yang lainnya. Hal ini disebabkan karena kemuliaan suatu tempat. Maka demikian juga, kemuliaan suatu waktu menyebabkan amalan-amalan kebaikan yang dikerjakan di dalamnya menjadi berlipat-lipat. Sedangkan waktu yang paling besar kemuliaannya adalah bulanRamadhan. Allah menjadikannya sebagai ajang bagi hamba-Nya untuk melakukan kebaikan, ketaatan serta untuk menaikkan derajat. (Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan dari kitab Al Muntaqa Min Fatawa Asy Syaikh al Fauzan)
***
Penerjemah: Sigit Hariyanto
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Sumber: www.muslim.or.id




Hukum Puasa Daud


Pertanyaan:
Bagaimana hukum puasa daud? puasa sehari selang seling, kan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sering memuji kesalihan Daud ‘alaihissalam.
Jawaban:
Alhamdulillah as sholatu was salaamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.
Puasa Daud hukumnya sunnah, dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Puasa yang paling dicintai oleh Allah adalah puasa Dawud, beliau (Nabi Dawud) berpuasa sehari dan tidak puasa sehari (puasa sehari selang seling).” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Al Wajiiz fi Fiqhi Sunnah wal Kitabil ‘Aziiz hal. 201). Lalu mungkin ada pertanyaan, bagaimana kalau puasa Dawud bertepatan dengan hari Jum’at, atau hari Sabtu atau hari Ahad, apakah dia boleh berpuasa pada hari itu?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
Pertanyaan no. 444: “Apabila ada seseorang yang berpuasa sehari dan tidak puasa sehari, sedangkan ketika itu giliran puasanya menepati hari Jumat, apakah dia diperbolehkan berpuasa di hari itu atau tidak?”
Beliau menjawab, “Ya, boleh bagi seseorang apabila dia telah terbiasa berpuasa sehari dan tidak puasa sehari kemudian dia berpuasa hari Jumat itu saja (tanpa mengiringi dengan puasa sehari sebelum atau sesudahnya -pent) atau hari Sabtu saja, atau Ahad, atau di hari-hari yang lainnya selama tidak menabrak hari-hari terlarang untuk puasa, karena apabila dia menabrak hari-hari terlarang untuk puasa maka dia haram berpuasa dan wajib baginya meninggalkan puasanya (tidak boleh puasa). Misalnya apabila ada seorang lelaki yang berpuasa sehari dan tidak puasa sehari, kemudian (giliran) tidak puasanya bertepatan dengan hari Kamis sehingga giliran puasa (berikutnya) bertepatan dengan hari Jumat maka tidak ada halangan baginya untuk berpuasa pada hari Jumat dalam kondisi demikian, sebab dia tidaklah berpuasa di hari Jumat karena status hari itu adalah hari Jumat. Akan tetapi karena dia sekedar meneruskan puasa yang biasa dilakukannya. Adapun apabila dia meneruskan puasa yang biasa dilakukannya (dan) bertepatan dengan hari terlarang untuk puasa maka wajib baginya meninggalkan puasa seperti apabila (giliran) puasanya itu bertepatan dengan hari Idul Adha atau hari Tasyriq, sebagaimana apabila ada seorang perempuan yang biasa berpuasa sehari dan tidak puasa sehari kemudian dia menjumpai sesuatu yang menghalanginya untuk berpuasa seperti karena sedang haidh atau nifas- maka saat itu dia tidak boleh berpuasa.” (Diterjemahkan dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 492, cet Dar Ats Tsuraya). Demikian yang bisa kami jawab, waffaqaniyallahu wa iyaakum limaa yuhibbuhu wa yardhaahu.
***
Penanya: Anna
Dijawab oleh: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi
(Sumber:konsultasisyariah)



Rabu, 16 Mei 2012

Apakah Nadzar Saya Harus Ditunaikan?


Pertanyaan:
Beberapa bulan yang lalu ana membaca buletin, kalo ndak salah namanya at-tauhid atau as-sunnah, tapi yang jelas penulis atau maraji’nya ustadz abu isa, salah satu isinya membahas haramnya bernadzar selain untuk Allah. trus yang mau ana tanya: ana masih punya hutang puasa 11 hari karena nadzar “kalo masuk ugm” ana mau puasa 15 hari, namun saat sampai hari keempat ana baca buletin itu lalu pikir-pikir apakah niat puasa ana ini bener? Padahal kan kata buletin itu bernadzar itu nadzarnya harus diikhlaskan untuk Allah semata, padahal ana meniatkannya sebagai pemenuh janji jika permintaan ana dikabulkan Allah, jadi apakah ana boleh menunaikan nadzar ana? Oya ma’had ‘ilmi mulainya kapan lagi ya? jazakumullah khoiron.
Jawaban:
Untuk Penanya Akhi Abu Luqman Abdillah, Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh. Alhamdulillah. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad. Amma ba’du.
Sebelumnya, kami memohon maaf atas keterlambatan jawaban ini. Lembaga Bimbingan Islam Al Atsary Jogjakarta memang menerbitkan buletin dakwah yang bernama Buletin At Tauhid dengan motto “Memurnikan Akidah Menebarkan Sunnah” sama dengan moto website yang kita cintai ini. Buletin ini banyak membahas permasalahan tauhid. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa tauhid adalah asas dakwah para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Sebagaimana difirmankan oleh Allah,
 “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyerukan: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah).”(QS. An Nahl: 36)
Semoga Allah meneguhkan dakwah ini tetap lurus di atas al haq dan membimbing para penggeraknya untuk ikhlas dan istiqamah hingga ajal tiba. Aammiin.
Akhi Abu Luqman yang kami hormati, pengertian nadzar adalah seorang mukallaf(yaitu seorang muslim yang sudah terbebani aturan syariat, bukan anak kecil dan bukan orang gila) mewajibkan bagi dirinya sendiri sebuah amal ketaatan untuk ditujukan mendekatkan diri kepada Allah. Nadzar ini akan diterima jika memenuhi syarat-syaratnya, di antara syaratnya ialah harus ikhlas dan bukan dalam rangka bermaksiat atau dalam perkara yang di luar kemampuannya. Yang dimaksud ikhlas yaitu melakukan amal tersebut dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada jin, gendruwo, atau wali atau yang lainnya. Sedangkan yang dimaksud perkara di luar kemampuannya ialah seperti bernadzar untuk infak emas sebesar gunung. Jadi, karena nadzar itu ibadah maka kita harus memiliki sikap ta’zhim(pengagungan dan penghormatan) kepada yang kita ibadahi yaitu Alloh ta’ala, bukan untuk main-main.
Dan ada satu lagi yang patut kita perhatikan bahwa janganlah kita terbiasa untuk bernadzar apabila ingin berbuat taat atau amal shalih. Karena Rasulullahsholallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut nadzar sebagai pekerjaannya orang yang pelit. Yaitu pelit dalam hal beribadah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda yang artinya, “Nadzar itu tidak mendatangkan kebaikan, namun hanyalah sebagai sebab untuk mengeluarkan sesuatu dari orang yang kikir.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah yang disebut dengan nadzar muqayyad, yaitu nadzar karena mengharapkan gantinya. Anda bernadzar untuk melakukan suatu ibadah dengan mengharapkan gantinya yaitu suatu keuntungan duniawi. Para ulama memakruhkannya bahkan ada yang mengharamkan nadzar semacam ini. Walaupun setelah syaratnya itu terpenuhi maka dia pun tetap diwajibkan untuk menunaikan nadzarnya. (LihatMutiara Faedah Kitab Tauhid, hal. 82 karya guru kami yang mulia Ustadz Abu ‘Isa Abdulloh bin Salam, hafizhahulloh wa jazaahullahu khairan).
Akhi Abu Luqman, adapun nadzar yang antum lakukan berdasarkan cerita yang antum sampaikan, maka menurut sepengetahuan kami apabila memang niat antum beribadah itu ikhlas (artinya ditujukan kepada Allah, sebagaimana tersirat dari perkataan antum: apabila permintaan itu dikabulkan Alloh, dan juga denganpuasa tersebut bukankah antum berniat mendekatkan diri kepada Alloh?) maka hal itu wajib ditunaikan. Adapun masalah sebabnya adalah kalau masuk UGM maka ini tidaklah menafikan keikhlasan tersebut. Sehingga nadzar antum itu tetap harus dilaksanakan. Karena hukum menunaikan nadzar dalam ketaatan adalah wajib. Jadi antum masih punya tanggungan hutang puasa 11 hari lagi. Wallahu a’lam. Semoga Allah memberikan taufik kepada kami dan antum untuk meraih cinta dan ridha-Nya. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh.
***
Penanya: Abu Luqman Abdillah
Dijawab Oleh: Abu Muslih Ari Wahyudi (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Abu Isa



Tata Cara Qadha Puasa


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum, Ustadz. Saya ingin mengqadha puasa saya saat bulan Ramadhan kemarin. Apakah bebas hari-harinya untuk membayar utang puasa itu? Lalu bagaimana bila saya mengqadha puasa tanpa sahur karena susah bangun sahurnya? Apakah tidak apa-apa puasa tanpa sahur?
M.Ridwan (mr.one**@yahoo.***)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Dalam mengqadha puasa, harinya bebas, karena Allah berfirman,
 “Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Q.S. Al-Baqarah:184)
Kalimat “pada hari-hari yang lain” menunjukkan bahwa qadha puasa itu harinya bebas, selama tidak di hari terlarang, seperti: Idul Fitri, Idul Adha, dan hari tasyrik.
Diperbolehkan berpuasa tanpa sahur, baik karena disengaja atau karena ketiduran, karena sahur bukan syarat sah berpuasa. Yang lebih penting adalah berniat sebelum subuh karena ini termasuk syarat sah puasa.
Sejak malam harinya, setiap orang yang hendak berpuasa wajib untuk sudah bersengaja bahwa paginya mau berpuasa. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah radhiallahu ‘anha; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Siapa saja yang belum berniat puasa sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa baginya.” (H.R. Abu Daud dan Nasa’i; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com






Qadha Puasa Untuk Orang Meninggal


Pertanyaan:
Assalamu’alaikum. Ustadz, ada seorang yang sakit sehingga tidak puasa Ramadhan selama satu bulan, dan belum sempat sembuh sudah meninggal dunia. Apakah boleh puasanya diqadha oleh ahli warisnya?

Jawaban:
Pertanyaan semisal juga pernah ditanyakan kepada Syaikh Ibnu Jibrin dengan redaksi: “Jika seorang meninggal dunia dan mempunyai hutang puasa Ramadhan, apakah boleh dipuasakan untuknya? Atau qadha itu hanya untuk hari-hari yang dinadzarkan saja?”
Beliau menjawab,
Imam Ahmad berpendapat bahwa qadha itu hanya untuk yang dinadzarkan. Adapun yang fardhu, maka tidak perlu diqadhakan untuk orang yang telah meninggal dunia, tapi cukup dengan menyedekahkan dari harta yang ditinggalkan sebanyak setengah sha’ untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Imam Ahmad berdalil dengna hadits Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam,
“Tidak sah seseorang berpuasa atas nama orang lain, begitu pula tidak sah seseorang shalat atas nama orang lain.”
Sementara mayoritas imam berpendapat, bahwa tidak ada perbedaan antara nadzar dan fardhu. Keduanya boleh diqadhakan untuk orang yang telah meninggal dunia, berdasarkan hadits Aisyah, ia berkata: Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa maka dipuasakan oleh walinya.”
Hadits yang dijadikan landasan Imam Ahmad mengandung makna bahwa kewajiban itu adalah beban orang-orang yang masih hidup. Dan dalam urusan ibadah, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain kecuali dalam kondisi tertentu.
Maka kesimpulannya, bahwa pendapat yang benar insya Allah adalah qadha puasa untuk orang yang telah meninggal dunia bersifat umum, baik puasa fardhu maupun yang dinadzarkan.
(Fatwa ash-Shiyam disusun oleh Rasyid az-Zahrani, hlm. 124-125)
Sumber: Majalah Al Mawaddah Edisi 8 Tahun ke-3 1431 H/Maret 2010




Selasa, 15 Mei 2012

Memerintah Anak untuk Berpuasa


Pertanyaan:
Mohon dijelaskan secara ringkas, bagaimana kita harus memberikan pengertian pada anak agar berpuasa ? Dan sebaiknya pada usia berapa anak mulai diwajibkan puasa ? Jazakumullah..
Jawaban:
Sejak kecil ketika anak kita sudah kuat berpuasa, maka sudah seharusnya didorong untuk menjalankan ibadah yang mulia tersebut. Jika sudah dilatih sejak dini, maka kelak ketika sudah baligh, ia akan mudah menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Dalam perkara shalat, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,
 “Perintahkan anak ketika ia sudah menginjak usia tujuh tahun untuk shalat. Jika ia sudah menginjak usia sepuluh tahun, maka pukullah ia (jika enggan shalat).” (HR. Abu Daud no. 494. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Mengenai perintah bagi anak untuk berpuasa dijelaskan dalam riwayat berikut.
‘Umar radhiyallahu anhu berkata kepada seseorang yang mabuk-mabukkan di bulan Ramadhan, “Celaka engkau, perhatikanlah puasa anak-anak kita.” Lantas beliau memukulnya karena ia dalam keadaan mabuk. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya)
Imam Al Bukhari membawakan pula dalam kitab Shahihnya Bab “Puasanya anak kecil”. Lantas beliau membawakan
 hadits dari Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz. Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang pada pagi hari di hari Asyura (10 Muharram) ke salah satu perkampungan Anshor, lantas beliau berkata,
 “Barangsiapa yang tidak berpuasa di pagi hari, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa hari ini dengan berpuasa. Barangsiapa yang berpuasa di pagi harinya, hendaklah ia tetap berpuasa.” Ar Rubayyi’ berkata, “Kami berpuasa setelah itu. Dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan pada mereka mainan dari bulu. Jika saat puasa mereka ingin makan, maka kami berikan pada mereka mainan tersebut. Akhirnya mereka terus terhibur sehingga mereka menjalankan puasa hingga waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1960). Hadits ini menunjukkan bahwa hendaklah anak-anak dididik puasa sejak mereka kuat. Jika mereka ‘merengek’ ingin berbuka padahal belum waktunya, maka hiburlah mereka dengan mainan sehingga mereka terbuai. Akhirnya mereka nantinya bisa menjalankan puasa hingga waktu Maghrib.
Ibnu Battol rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa ibadah dan berbagai kewajiban tidaklah wajib kecuali jika seseorang sudah baligh. Namun mayoritas ulama menganjurkan agar anak dilatih berpuasa dan melakukan ibadah supaya nantinya mereka tidak meninggalkannya, dan terbiasa serta mudah melakukannya ketika sudah wajib nantinya.” (Syarh Al Bukhari, 7/125, Asy Syamilah)
Ibnul Mundzir rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Ibnu Battol menyatakan, “Para ulama berselisih pendapat kapan waktu anak diperintahkan untuk berpuasa.
Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, ‘Auroh, ‘Atho’, Az Zuhri, Qotadah dan Imam Asy Syafi’i menyatakan bahwa anak diperintahkan puasa ketika telah mampu.
Al Awza’i menyatakan bahwa jika jika anak telah mampu berpuasa tiga hari berturut-turut dan tidak lemas, maka ia sudah dibebani menjalankan ibadah puasa. …
Ishaq berkata bahwa jika anak telah menginjak usia 12 tahun, maka ia sudah dibebani menjalankan ibadah
 puasa agar terbiasa.
Ibnu Al Majusyun berkata, “Jika anak telah mampu puasa, maka ia telah wajib puasa. JIka ia tidak puasa tanpa udzur dan bukan karena sakit, maka ia tetap wajib mengganti (mengqodho’) puasanya.
Sedangkan Asy-hab berkata, “Disunnahkan bagi anak-anak untuk berpuasa ketika ia telah mampu.” (Syarh Al Bukhari, 7/125, Asy Syamilah)
Bagusnya adalah ketika telah mampu, anak hendaklah sudah diperintahkan untuk berpuasa. Ketika ia sudah baligh dengan tanda telah haidh bagi wanita, tumbuh bulu kemaluan atau telah mimpi basah, maka ia sudah wajib untuk berpuasa.
Semoga Allah menganugerahkan pada kita anak-anak yang sholeh yang giat untuk beribadah dan berakhlak mulia.
Wallahu waliyyut taufiq.